Ilustrasi Cahaya di Malam Hari Visualisasi sederhana yang menggambarkan kegelapan (malam) dan datangnya cahaya sebagai petunjuk atau petunjuk ilahi.

Memahami Janji Allah dalam QS Al-Lail Ayat 10: Balasan bagi yang Bersih Jiwanya

Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan makna tentang kontras antara siang dan malam, kebaikan dan keburukan, serta konsekuensi abadi dari pilihan hidup kita di dunia. Di antara ayat-ayat yang memberikan motivasi kuat bagi hamba yang bertakwa, terdapat satu ayat yang menjadi puncak janji manis dari Allah SWT, yaitu ayat kesepuluh.

Teks dan Terjemahan QS Al-Lail Ayat 10

Ayat ini merupakan kesimpulan logis dari pembahasan sebelumnya mengenai orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah demi mencapai keridhaan-Nya, dan orang yang kikir karena takut kekurangan.

وَأَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ (10)

"Dan adapun orang yang menyekutukan dirinya dengan kekayaan yang dianggapnya cukup," (QS. Al-Lail: 10)

Konteks Ayat Sebelum dan Sesudah Ayat 10

Untuk memahami kedalaman makna ayat 10, kita perlu melihat ayat sebelumnya. Al-Lail ayat 5-7 menjelaskan kondisi orang yang berinfak:

"Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (surga), Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan)." (QS. Al-Lail: 5-7)

Setelah menjanjikan kemudahan bagi orang dermawan yang bertakwa, ayat 8 hingga 10 kemudian memberikan kontras yang tegas, menggambarkan kondisi orang yang sebaliknya:

"Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah), Serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesukaran (neraka)." (QS. Al-Lail: 8-10)

Jadi, ayat 10 ini secara spesifik merujuk pada **orang yang merasa dirinya sudah kaya dan mapan (استغنى - istaghna)**, sehingga ia tidak merasa perlu untuk bersedekah atau mendekatkan diri kepada Allah. Rasa "cukup" ini adalah bentuk kesombongan spiritual yang menutup pintu rahmat.

Bahaya Merasa "Cukup" (Al-Istighna)

Kata "istaghna" mengandung makna lebih dalam daripada sekadar kekayaan materi. Ini adalah kondisi batin di mana seseorang merasa independen total dari Penciptanya. Hatinya menjadi keras, tidak tergerak untuk berbagi, karena ia percaya bahwa semua hasil usahanya murni berasal dari kekuatannya sendiri. Dalam pandangan Islam, kondisi ini sangat berbahaya karena ia meniadakan syukur dan mengakibatkan penolakan terhadap perintah Allah.

Ketika seseorang sudah merasa "cukup", ia otomatis akan menganggap peringatan akhirat dan janji surga sebagai hal yang tidak relevan baginya. Ia hidup dalam ilusi kemandirian sesaat, menukar kekalitas yang pasti (surga) dengan kenikmatan dunia yang fana.

Janji Agung bagi Jiwa yang Menyucikan Diri (Ayat 11-15)

Meskipun ayat 10 menggambarkan jalan kesukaran, keindahan Al-Qur'an terletak pada bagaimana ia segera menyusul dengan janji yang menenangkan bagi mereka yang memilih jalan yang benar. Ayat 11 hingga 15 adalah penegasan bahwa harta sejati adalah ketakwaan, bukan akumulasi kekayaan.

Allah SWT berfirman:

"Dan apakah hartanya (yang diinfakkannya) itu tidak akan menolongnya (dari azab) apabila ia telah binasa? Sesungguhnya tugas Kami hanyalah memberikan petunjuk. Dan sesungguhnya bagi Kami jualah akhirat dan permulaan. Maka, Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Orang yang paling takut (kepada Allah) akan dijauhkan daripadanya, Ialah orang yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk menyucikan dirinya. Dan tiada seorang pun yang mempunyai nikmat yang harus dibalas olehnya, Kecuali karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia pasti mendapatkan (balasan yang memuaskannya)." (QS. Al-Lail: 11-21)

Fokus utama dari rangkaian ayat ini, yang diawali dengan kontras di ayat 10, adalah: Harta yang diinfakkan di jalan Allah adalah investasi yang menolong di akhirat, sedangkan harta yang ditimbun karena merasa diri cukup akan sia-sia ketika kematian datang.

Implikasi Spiritual QS Al-Lail Ayat 10

Ayat 10 berfungsi sebagai cermin introspeksi. Apakah kita tergolong orang yang merasa cukup? Rasa cukup yang negatif muncul ketika kita melupakan bahwa sumber segala rezeki adalah dari Allah. Kesadaran bahwa segala kenikmatan yang kita miliki adalah titipan, mendorong kita untuk bersyukur melalui ibadah dan sedekah.

Untuk menghindari jalan kesukaran yang disebutkan dalam konteks ayat 8-10, seorang muslim harus senantiasa menjaga hati agar tetap lapang dan dermawan. Kemudahan di akhirat diperoleh bukan karena amal yang banyak, melainkan karena keikhlasan dalam menyucikan jiwa dari sifat kikir dan kesombongan kekayaan. Dengan demikian, pemahaman terhadap QS Al-Lail ayat 10 menjadi pengingat keras tentang bahaya spiritual dari merasa mandiri secara materi tanpa mengakui otoritas mutlak Sang Pencipta.

🏠 Homepage