Pertanyaan mengenai urutan surat dalam Al-Qur'an adalah hal yang sering muncul bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang baru mulai mendalami hafalan atau tartil. Salah satu surat yang memiliki keistimewaan tersendiri adalah Surat Al-Qadr (Surat ke-97), yang termasyhur karena membahas tentang Malam Lailatul Qadar. Namun, banyak yang penasaran: setelah surat Al-Qadr adalah surat apa?
Untuk menjawabnya secara langsung, dalam susunan mushaf Al-Qur'an yang kita kenal saat ini—yang merupakan Mushaf Utsmani—Surat Al-Qadr terletak di urutan ke-97. Setelah surat ke-97 ini selesai, maka surat berikutnya yang menyusul adalah Surat Al-Bayyinah, yang merupakan surat ke-98.
Ilustrasi urutan surat setelah Al-Qadr.
Sebelum melangkah lebih jauh pada surat berikutnya, penting untuk memahami mengapa Surat Al-Qadr (Inna Anzalnahu) begitu istimewa. Surat ini terdiri dari lima ayat pendek namun padat makna, yang menegaskan kebesaran Al-Qur'an dan penurunan kitab suci pada malam yang mulia. Malam yang dimaksud adalah Lailatul Qadar, malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Penekanan pada malam ini menunjukkan signifikansi ibadah dan keberkahan yang dilimpahkan Allah SWT pada malam tersebut. Ayat-ayatnya berbicara tentang turunnya para malaikat bersama ruh dengan izin Tuhannya untuk membawa segala ketetapan. Keutamaan ini menjadikan pembacaan Surat Al-Qadr sebagai amalan yang sangat dianjurkan, terutama menjelang dan selama bulan Ramadhan.
Setelah Surat Al-Qadr, umat Islam akan membaca Surat Al-Bayyinah, yang berarti "Bukti yang Nyata." Surat ini termasuk golongan surat Madaniyah dan terdiri dari delapan ayat. Surat Al-Bayyinah memiliki fokus utama pada pemisahan antara kaum mukmin yang konsisten dengan janji Allah dan ahli kitab serta orang-orang musyrik yang menolak kebenaran Islam.
Inti dari Al-Bayyinah adalah penegasan bahwa kedatangan Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur'an adalah bukti nyata (bayyinah) yang jelas yang seharusnya mendorong mereka untuk beriman. Surat ini secara tegas memisahkan konsekuensi bagi mereka yang beriman dan beramal saleh (balasan mereka adalah surga abadi di sisi Tuhan mereka) dengan mereka yang mengingkari dan menolak kebenaran (mereka adalah seburuk-buruk makhluk).
Penting untuk dicatat bahwa urutan surat dalam Al-Qur'an yang kita pegang saat ini (Mushaf Utsmani) adalah berdasarkan ketetapan kolektif para sahabat Nabi di bawah kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan RA. Meskipun urutan turunnya wahyu (nuzul) berbeda dengan urutan yang ada di mushaf, urutan mushaf inilah yang diyakini sebagai susunan yang diajarkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW di akhir masa hidup beliau.
Surat Al-Qadr (97) dan Al-Bayyinah (98) keduanya berada dalam juz terakhir Al-Qur'an, yaitu Juz 'Amma (walaupun Juz 'Amma secara tradisional sering diartikan dimulai dari An-Naba', namun secara teknis juz terakhir mencakup hingga An-Nas). Letaknya yang berdekatan dalam urutan mushaf menunjukkan kesinambungan pesan-pesan penutup dalam kitab suci, mengakhiri bahasan Lailatul Qadar dengan penetapan bukti kebenaran risalah Islam.
Meskipun Surat Al-Qadr berbicara tentang momen historis penurunan Al-Qur'an (Lailatul Qadar) dan Al-Bayyinah berbicara tentang konsekuensi penolakan atau penerimaan Al-Qur'an, keduanya saling melengkapi. Al-Qadr menegaskan kemuliaan sumber ajaran, sementara Al-Bayyinah menegaskan tanggung jawab manusia terhadap ajaran tersebut. Setelah mengetahui kemuliaan malam di mana Al-Qur'an diturunkan, Muslim diperintahkan untuk melihat bukti nyata (Al-Bayyinah) yang dibawa oleh Nabi dan memilih jalan keimanan yang benar.
Oleh karena itu, ketika kita selesai membaca Surat Al-Qadr, kita secara otomatis akan melanjutkan pembacaan kita ke Surat Al-Bayyinah, mempersiapkan diri untuk tadarus surat-surat pendek penutup yang sarat akan peringatan dan janji Ilahi. Mengetahui urutan ini membantu pembaca menjaga kontinuitas bacaan dan pemahaman kontekstual ayat-ayat Allah.