Menguak Kisah Surah Al Ikhlas

Latar Belakang Penurunan Surah Al Ikhlas

Surah Al Ikhlas, yang merupakan surat ke-112 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah SWT. Keistimewaannya tidak hanya terletak pada maknanya yang padat, melainkan juga pada konteks historis penurunannya. Pertanyaan mengenai hakikat Tuhan menjadi pemicu utama turunnya surah yang ringkas namun mengandung tauhid murni ini.

Kisah mengenai surah Al Ikhlas diturunkan seringkali dikaitkan dengan beberapa riwayat, namun inti ceritanya berpusat pada permintaan kaum musyrikin atau Yahudi di Madinah yang menantang Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan secara rinci tentang Tuhan yang disembahnya. Mereka ingin mengetahui nasab (garis keturunan) dan hakikat Dzat Allah SWT, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika sempit manusia.

Menghadapi pertanyaan yang mengandung unsur kesyirikan atau keraguan terhadap keunikan Allah, Rasulullah SAW mendapatkan wahyu langsung dari Allah. Wahyu tersebut adalah Surah Al Ikhlas, yang berfungsi sebagai jawaban definitif dan penegasan mutlak terhadap konsep Keesaan Allah.

Salah satu riwayat yang populer menyebutkan bahwa para pemuka Quraisy mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, gambarkanlah kepada kami Tuhanmu itu. Apakah dari emas, perak, ataukah dari apa?" Mereka ingin mengetahui wujud atau unsur material dari Tuhan yang dipercayai Nabi.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa kaum musyrikin Mekah dan para rabi (pemuka Yahudi) Madinah berkumpul dan berkata, "Sebutkanlah kepada kami sifat Tuhanmu, dari mana Ia berasal?" Mereka menuntut adanya sebuah perbandingan atau rujukan yang dapat mereka pahami dengan akal mereka yang terbatas.

Maka turunlah wahyu yang tegas dan lugas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1)

(Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa.")

Inti Ajaran Tauhid dalam Al Ikhlas

Penegasan mengenai surah Al Ikhlas diturunkan adalah untuk memurnikan konsep ketuhanan dari segala bentuk penyimpangan dan penyamaan. Surah ini adalah pondasi utama aqidah Islam, yakni tauhid rububiyah dan uluhiyah.

Ayat kedua, اللَّهُ الصَّمَدُ (Allahush Shamad), menjelaskan bahwa Allah adalah Zat yang Maha Dibutuhkan dan tempat bergantung segalanya. Dia tidak membutuhkan apapun, sementara segala sesuatu membutuhkan-Nya. Ini meniadakan konsep tuhan yang membutuhkan makan, minum, atau pertolongan.

Ayat ketiga, لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Lam Yalid wa Lam Yuulad), secara langsung membantah keyakinan yang ada pada kaum musyrikin (bahwa ada anak bagi Allah) dan juga membantah keyakinan Yahudi (Uzair adalah anak Allah) serta Nasrani (Isa adalah anak Allah). Allah tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Konsep kelahiran atau keturunan adalah sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Pencipta).

Ayat penutup, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (Wa Lam Yakullahu Kufuwan Ahad), adalah penutup yang sempurna. Tidak ada satu pun yang setara atau sebanding dengan Allah SWT. Ini menolak segala bentuk perbandingan, penyamaan, atau penyekutuan (syirik).

Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang kapan dan mengapa surah Al Ikhlas diturunkan memberikan kita wawasan bahwa surah ini adalah benteng aqidah. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa membaca surah ini setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an, karena ia memuat inti sari ajaran tentang keesaan Allah SWT.

Keindahan surah ini terletak pada kejelasannya. Dalam empat ayat pendek, semua spekulasi, keraguan, dan kesyirikan tentang hakikat Tuhan disapu bersih, menyisakan pemahaman murni bahwa Allah adalah Maha Tunggal, Abadi, dan tanpa banding.

Setiap kali kita membaca Al Ikhlas, kita sebenarnya sedang mengulang kembali penolakan terhadap segala bentuk penyekutuan dan pengakuan penuh atas keunikan Allah yang Maha Sempurna, sebagaimana yang Allah perintahkan melalui wahyu yang diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum yang mendustakan.

ALLAH Esa dan Tunggal
🏠 Homepage