Surah Al-Kahfi adalah salah satu surat yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an, terutama karena mengandung empat kisah besar yang menjadi pelajaran penting bagi umat Islam, yaitu kisah Ashabul Kahfi (pemuda Ashab al-Kahf), kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidr, serta kisah Dzulkarnain. Di penghujung surat ini, Allah SWT menutupnya dengan dua ayat krusial, yaitu ayat 109 dan 110, yang menekankan tentang hakikat ilmu dan amal.
Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habis lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (sebanyak lautan itu)."
Ayat 109 ini memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai keluasan dan kedalaman ilmu Allah SWT. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan sebuah perumpamaan yang luar biasa: jika seluruh lautan di bumi dijadikan tinta, dan semua pohon dijadikan pena, lalu digunakan untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah (ayat-ayat-Nya atau ilmu-Nya), maka lautan itu akan habis terlebih dahulu sebelum kalimat-kalimat tersebut selesai ditulis. Bahkan, jika ditambahkan lautan lain yang setara ukurannya, tinta itu tetap akan habis.
Pesan utama dari ayat ini adalah peringatan tegas akan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia. Seberapa pun majunya sains dan teknologi, seberapa pun banyaknya buku yang kita baca, dan seberapa luasnya cakrawala pemikiran kita, semua itu hanyalah setetes air jika dibandingkan dengan samudra ilmu Allah. Ilmu manusia selalu terikat oleh dimensi ruang dan waktu, sedangkan ilmu Allah adalah mutlak dan tanpa batas. Ayat ini mengajarkan kerendahan hati intelektual. Seorang mukmin harus menyadari bahwa dirinya adalah pembelajar abadi di hadapan Sang Maha Tahu.
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Setelah menjelaskan keluasan ilmu Allah, ayat 110 langsung mengerucutkan pada inti risalah kenabian dan tuntunan praktis bagi umat manusia. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menegaskan identitasnya: beliau hanyalah seorang manusia biasa, bukan malaikat atau makhluk luar biasa lainnya, namun memiliki keistimewaan menerima wahyu.
Inti wahyu tersebut sangat sederhana namun fundamental: Tauhid (Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa).
Ayat ini kemudian memberikan formula kunci kebahagiaan dunia dan akhirat, khususnya bagi mereka yang merindukan pertemuan agung dengan Allah (yaumul qiyamah). Formula tersebut terdiri dari dua pilar utama:
Kesimpulan Integral: Dua ayat terakhir Surah Al-Kahfi ini merupakan penutup yang sempurna. Ayat 109 membahas sisi metafisik (ilmu Allah yang tak terbatas), sementara Ayat 110 membahas sisi praktis (tugas manusia yang terbatas). Kita harus beramal semaksimal mungkin sesuai tuntunan (Amal Saleh), namun selalu ingat bahwa usaha kita sangat kecil di hadapan keagungan ilmu Allah, dan ketaatan kita harus tulus hanya kepada-Nya (Tauhid).
Merenungkan ayat 109 dan 110 memberikan perspektif yang seimbang. Kita didorong untuk terus belajar dan berusaha (amal saleh) tanpa batas, namun pada saat yang sama kita harus menjaga hati agar tidak pernah merasa bahwa ilmu kita sudah sempurna atau bahwa amal kita sudah cukup besar untuk menyelamatkan kita tanpa keikhlasan mutlak kepada Allah SWT. Pemahaman ini adalah kunci untuk menghadapi godaan kesombongan ilmu dan kesia-siaan amal.