Kisah Ashabul Kahfi, atau pemuda penghuni gua, adalah salah satu narasi paling ikonik dalam Al-Qur'an yang diceritakan dalam Surah Al-Kahfi. Kisah ini bukan hanya tentang keberanian iman, tetapi juga tentang campur tangan dan pemeliharaan Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya yang teguh memegang prinsip tauhid di tengah ancaman penindasan. Inti dari kisah mereka—bagaimana mereka tertidur selama berabad-abad—tercantum jelas dalam ayat-ayat kunci, khususnya ayat 25 dan 26.
Ayat ke-25 ini memberikan informasi yang sangat spesifik mengenai lamanya waktu pemuda-pemuda beriman tersebut berada dalam perlindungan Allah di dalam gua. Mereka tidur selama tiga ratus tahun, ditambah sembilan tahun, totalnya adalah 309 tahun. Periode waktu yang sangat panjang ini menegaskan betapa luar biasanya peristiwa yang terjadi, serta menunjukkan kemampuan Allah untuk memutar waktu dan menghentikan proses biologis normal (penuaan) demi menjaga keimanan mereka.
Para mufasir menekankan bahwa penambahan sembilan tahun tersebut adalah penegasan dari Allah SWT setelah sebelumnya terjadi perbedaan pendapat di antara kaum mereka (sebelum mereka bersembunyi) mengenai durasi pasti waktu tidur mereka. Dalam konteks historis, periode 309 tahun ini sering dikaitkan dengan transisi kekuasaan Romawi, dari masa pemerintahan yang sangat menindas hingga masa ketika agama Kristen (yang di dalamnya terdapat unsur tauhid yang mereka yakini) mulai diizinkan secara terbuka.
Tidur panjang ini menjadi bukti nyata bagi pemuda-pemuda tersebut dan bagi generasi setelah mereka bahwa janji Allah adalah hak. Mereka tidak mati, melainkan ditidurkan, dan ketika dibangunkan, dunia telah berubah total, dan mereka mendapati bahwa keyakinan mereka tidak sia-sia.
Setelah memberikan fakta tentang durasi tidur mereka (ayat 25), Allah SWT melalui Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menegaskan batas pengetahuan manusia mengenai hal-hal gaib. Ayat ke-26 ini merupakan pondasi tauhid yang sangat kuat. Ketika terjadi perbedaan pendapat atau keraguan manusiawi mengenai detail peristiwa gaib tersebut, jawaban yang harus disampaikan adalah penyerahan diri penuh kepada ilmu Allah.
"Allah Maha Mengetahui berapa lama mereka tinggal." Pernyataan ini mengajarkan bahwa meskipun Al-Qur'an memberikan informasi spesifik, ada kalanya manusia harus mengakui keterbatasan ilmunya. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang tersembunyi, baik yang tampak di bumi maupun di langit.
Lebih jauh lagi, ayat ini menyoroti kesempurnaan penglihatan dan pendengaran Allah (Abshir bihi wa Asmi'). Tidak ada satu pun peristiwa, sekecil apapun, yang luput dari pengawasan-Nya, bahkan saat pemuda tersebut tertidur lelap selama tiga abad. Kontras antara keterbatasan manusia dan kesempurnaan Ilahi ini sangat ditekankan.
Poin penutup dari ayat 26 adalah penegasan bahwa Allah tidak memiliki sekutu dalam pemerintahan-Nya (hukm). Perlindungan yang diterima Ashabul Kahfi murni berasal dari kehendak dan kekuasaan-Nya semata, tanpa perantara lain. Hal ini memperkuat pesan utama kisah tersebut: mencari perlindungan sejati hanya kepada Allah.
Ayat 25 dan 26 Surah Al-Kahfi adalah paket lengkap mengenai mukjizat pemeliharaan dan batasan ilmu. Pertama, mereka memberikan konfirmasi historis mengenai durasi tidur, menjadi bukti nyata kekuatan Allah atas dimensi waktu. Kedua, ayat berikutnya mengingatkan kita untuk tidak terlalu fokus pada detail perhitungan yang tidak esensial, melainkan kembali kepada sumber kebenaran mutlak, yaitu Allah SWT.
Kisah ini mengajarkan bahwa ketika seorang mukmin menghadapi tekanan untuk meninggalkan prinsip agamanya, ia harus meneladani pemuda gua: memilih kesendirian yang aman di bawah lindungan Ilahi daripada hidup nyaman dalam kemaksiatan dan kekufuran. Allah SWT menjamin mereka tidak hanya perlindungan fisik (di gua) tetapi juga keabadian kisah mereka dalam wahyu, selama 309 tahun dan selamanya.