Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surah makkiyah yang kaya akan pelajaran dan hikmah. Ayat keempat ini menempati posisi krusial karena langsung mengaitkan tujuan diturunkannya Al-Qur'an dengan inti peringatan yang dibawanya. Ayat ini secara spesifik menyatakan bahwa salah satu fungsi utama Al-Qur'an adalah memberikan peringatan (yunthir) kepada mereka yang meyakini klaim fatal tentang Allah SWT.
Klaim yang dimaksud dalam ayat ini adalah tuduhan bahwa "Allah mengambil seorang anak" (ittakhadzallahu waladan). Dalam konteks historis dan teologis, ini merujuk pada keyakinan beberapa kelompok yang menyematkan status ketuhanan pada entitas lain—baik itu malaikat, nabi, atau figur spiritual lainnya. Dalam Islam, tauhid (keesaan Allah) adalah pondasi utama, dan menyekutukan-Nya dengan apapun, termasuk menganggap-Nya memiliki keturunan, adalah dosa terbesar (syirik) yang paling fatal.
Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya masalah akidah dalam pandangan Ilahi. Kesalahan dalam memahami hakikat Tuhan membawa konsekuensi abadi. Oleh karena itu, Al-Qur'an diturunkan tidak hanya sebagai petunjuk ibadah ritualistik, tetapi juga sebagai koreksi fundamental terhadap pemahaman manusia mengenai Sang Pencipta. Peringatan di sini bersifat universal, ditujukan kepada siapapun, dari generasi mana pun, yang terjerumus dalam pemikiran antropomorfisme (menggambarkan Tuhan menyerupai manusia) atau penyerupaan Tuhan dengan makhluk ciptaan-Nya.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa peringatan ini sangat penting karena kesesatan akidah akan membatalkan seluruh amal perbuatan. Jika seseorang beribadah dengan benar namun fondasi keimanannya cacat karena keyakinan syirik, maka seluruh amalnya tidak akan diterima. Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tentang keesaan Allah adalah pintu gerbang menuju segala kebaikan.
Untuk memahami kedalaman ayat 4, kita harus melihatnya dalam konteks ayat-ayat sebelumnya (ayat 1 hingga 3). Ayat 1-3 memuji Al-Qur'an sebagai pedoman yang lurus, tanpa cacat, dan berfungsi sebagai kabar gembira bagi orang-orang beriman. Kemudian, ayat 4 hadir sebagai kontrasnya: jika Al-Qur'an adalah rahmat bagi yang beriman, ia juga merupakan peringatan keras bagi yang tersesat.
Ini menciptakan keseimbangan dalam pesan kenabian: ada janji surga bagi yang mengikuti petunjuk, dan ada ancaman neraka bagi yang menolak kebenaran mendasar tentang ketuhanan. Struktur ayat-ayat awal ini menunjukkan bahwa kedudukan Al-Qur'an adalah sebagai penyempurna wahyu dan pemurnian konsep ketuhanan yang telah rusak di tengah masyarakat.
Meskipun ayat ini berbicara tentang keyakinan spesifik di masa lampau, relevansinya tetap tajam di era modern. Dalam konteks kekinian, "menganggap Allah mengambil anak" bisa diperluas maknanya menjadi segala bentuk penyandaran harapan, ketakutan, atau pemenuhan kebutuhan eksistensial kepada selain Allah. Ini termasuk takhayul, pemujaan berlebihan terhadap harta benda, kekuasaan, atau bahkan ideologi yang diagung-agungkan melebihi batas ketaatan kepada Sang Pencipta.
Peringatan ini mendorong setiap Muslim untuk senantiasa melakukan introspeksi diri (muhasabah): Apakah ada bentuk penyekutuan terselubung dalam hidup kita? Apakah kita terlalu bergantung pada sebab-sebab duniawi hingga melupakan sebab utama dari segala sebab? Surah Al-Kahfi, dimulai dari ayat ini, berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa fokus utama seorang mukmin haruslah pada pengakuan mutlak terhadap keesaan dan keunikan Allah SWT. Pembacaan dan perenungan ayat ini, khususnya di hari Jumat, haruslah disertai dengan komitmen untuk memurnikan akidah dari segala bentuk kesyirikan, sekecil apapun wujudnya. Keberkahan Al-Qur'an terletak pada implementasi ajarannya yang mendasar ini.