Surah Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak kisah teladan yang relevan hingga akhir zaman. Salah satu segmen yang paling mendalam dan sarat makna adalah kisah pertemuan Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Al-Khidir. Bagian ayat 60 hingga 70 (Al-Kahfi) merupakan titik awal dari perjalanan menuntut ilmu yang penuh kesabaran dan kerendahan hati, di mana Musa menyadari keterbatasan ilmunya di hadapan ilmu Tuhan yang Maha Luas.
Ayat-ayat ini dimulai ketika Nabi Musa dan pengikutnya merasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Mereka memutuskan untuk beristirahat di dekat pertemuan dua lautan, sebuah lokasi yang telah dijanjikan sebagai tempat pertemuan dengan Al-Khidir. Ayat 60 secara spesifik menceritakan momen ini:
(60) Ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti berjalan sehingga aku sampai ke tempat bertemunya dua lautan; atau aku akan berjalan terus selama bertahun-tahun.”
Permintaan Musa untuk melanjutkan perjalanan, meskipun harus menempuh waktu yang sangat lama ("hukuban," yang berarti waktu yang sangat panjang), menunjukkan tekadnya yang kuat. Ia rela meninggalkan zona nyamannya (berada di antara kaumnya dan memiliki kedudukan kenabian) demi mencari ilmu yang lebih tinggi.
Perjalanan mereka dilanjutkan, namun ujian kesabaran segera tiba. Ketika mereka tiba di tempat pertemuan yang dimaksud, mereka mendapati ikan yang mereka bawa untuk bekal telah hilang. Ini adalah tanda pertama yang telah diperingatkan.
(61) Maka tatkala mereka sampai di tempat pertemuan dua laut itu, mereka lupa akan ikan mereka, lalu ikan itu melompat ke laut dan hilang.
Musa merasa kecewa karena bekal mereka hilang, namun muridnya (yang dalam tafsir diyakini sebagai Yusa' bin Nun) mengingatkan bahwa ikan tersebut menghilang secara ajaib—ia "membuat jalannya di laut seperti lorong." Kejadian ini bukan sekadar kehilangan bekal, melainkan sebuah isyarat ilahiah yang harus diperhatikan.
Ketika mereka menyadari hal itu, Musa berkata (Ayat 64), "Itulah tempat yang kita cari." Pertanda fisik telah membawa mereka kepada tujuan spiritual.
Akhirnya, mereka bertemu dengan Al-Khidir. Musa mengajukan permohonan untuk mengikuti Al-Khidir agar dapat diajarkan sebagian dari ilmu Allah yang benar (Al-Haqq). Al-Khidir menyambutnya dengan syarat yang sangat tegas, yaitu Nabi Musa harus bersabar dan tidak boleh menanyakan apa pun sebelum Al-Khidir sendiri menjelaskannya.
(65) Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan Kami telah mengajarkannya ilmu dari sisi Kami.
Nabi Musa, yang merupakan seorang Rasul dan Ulul Azmi, menyanggupi syarat tersebut. Namun, kesabaran manusia memiliki batas. Ketika mereka menyaksikan tiga peristiwa—melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, dan memperbaiki dinding tua—kesabaran Musa teruji hingga puncaknya.
Kisah dalam rentang ayat 60 hingga 70 ini mengajarkan beberapa poin penting mengenai menuntut ilmu:
Puncak dari ketegangan ini terjadi di ayat 70, ketika Musa akhirnya tidak mampu menahan diri setelah menyaksikan perbaikan dinding. Ia menegur Al-Khidir, yang kemudian mengingatkannya akan janji mereka. Momen inilah yang memaksa Musa untuk meminta maaf dan mengakui bahwa ia telah melampaui batas yang telah ditetapkan.
Kisah Musa dan Khidir, sebagaimana diceritakan dalam ayat-ayat ini, menjadi mercusuar abadi bagi setiap penuntut ilmu. Ia mengingatkan bahwa ilmu yang sejati datang dari Allah, dan cara meraihnya adalah melalui ketekunan, kerendahan hati, dan kesiapan menerima hikmah yang mungkin pada awalnya tampak bertentangan dengan logika kita.
Maka, ketika kita membaca Surah Al-Kahfi, renungkanlah pelajaran dari perjalanan spiritual Musa. Apakah kita sudah memiliki kesabaran yang cukup untuk menerima pelajaran hidup, bahkan ketika kita belum memahami makna di balik setiap peristiwa yang terjadi?