Ilustrasi pertemuan dua jenis ilmu. (Ayat 65-70)
Surah Al-Kahfi, surat yang sarat akan hikmah dan pelajaran hidup, menyajikan kisah monumental antara Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang bijaksana, yang dikenal sebagai Khidr AS. Ayat 65 hingga 70 merupakan bagian penting dalam narasi ini, menggambarkan momen krusial ketika Musa dipertemukan dengan ilmu yang tidak ia miliki—ilmu laduni atau ilmu yang dianugerahkan langsung oleh Allah SWT.
Pertemuan ini adalah pelajaran utama tentang keterbatasan ilmu manusia, meskipun ia adalah seorang Nabi yang mulia. Musa, yang merasa dirinya adalah orang paling berilmu saat itu, harus menyadari bahwa di hadapan keagungan ilmu Allah, ilmunya hanyalah setitik air di samudra luas. Ayat-ayat ini menekankan pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu dan penerimaan terhadap kehendak serta hikmah Ilahi yang terkadang melampaui logika rasional kita.
65. Lalu mereka berdua (Musa dan pembantunya) mendapatkan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
66. Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku (sebagian) dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia (Khidr) menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat sabar bersamaku."
68. Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan mendurhakai perintahmu dalam urusan apapun."
69. Dia (Khidr) berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
70. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, Khidr melubanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu ini? Tentu kamu telah menenggelamkan penumpangnya." Sesungguhnya kamu telah membuat suatu kesalahan yang besar.
Ayat ini memperkenalkan Khidr sebagai sosok istimewa. Ia dianugerahi "rahmat" (kasih sayang dan kebaikan) serta "ilmu laduni" (ilmu dari sisi Allah). Ini adalah ilmu hakikat yang tidak diperoleh melalui proses belajar formal seperti yang Musa jalani. Ini mengajarkan kita bahwa ilmu tertinggi adalah anugerah, dan kita harus selalu memohonnya kepada Allah.
Musa, meskipun seorang Rasul, memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa ada ilmu yang lebih tinggi darinya dan memohon untuk diajarkan. Respon Khidr, "Kamu sekali-kali tidak akan dapat sabar bersamaku," menunjukkan bahwa ilmu laduni sering kali melibatkan pemahaman terhadap kebijaksanaan tersembunyi (hikmah) di balik peristiwa yang tampak buruk di mata manusia biasa. Kesabaran diuji bukan hanya dalam menerima perintah, tetapi dalam memahami hikmah di balik tindakan yang kontradiktif dengan logika umum.
Syarat yang diberikan Khidr sangat tegas: jangan bertanya hingga ia menjelaskannya sendiri. Ini adalah etika penting dalam belajar, terutama dari seorang guru sejati. Adakalanya seorang murid perlu menahan diri dari penilaian atau pertanyaan prematur agar pemahaman menyeluruh dapat terbentuk. Dalam konteks ini, rasa ingin tahu Musa yang didasari oleh naluri keadilan manusianya menjadi hambatan awal.
Tindakan Khidr melubangi perahu segera memicu reaksi Musa. Dari perspektif Musa, ini adalah perbuatan zalim dan merusak harta benda. Namun, ini adalah ujian pertama yang dirancang Khidr untuk menunjukkan kepada Musa bahwa ada realitas di balik tindakan yang terlihat salah. Reaksi Musa yang langsung menilai ("Sungguh kamu telah membuat suatu kesalahan yang besar") mengonfirmasi perkataan Khidr sebelumnya bahwa ia belum siap menerima hikmah yang lebih dalam.
Secara keseluruhan, bagian awal kisah ini (ayat 65-70) adalah fondasi yang mengajarkan kerendahan hati intelektual, pentingnya adab dalam mencari ilmu hakiki, dan bahwa keadilan manusia sering kali berbeda dengan standar hikmah ilahi yang luas.