Dan sungguh, jika kamu menuruti keinginan mereka setelah datang kepadamu ilmu pengetahuan, maka tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.
Ayat ke-68 dari Surah Al-Kahfi ini merupakan bagian krusial dari rangkaian kisah Nabi Musa AS dan Khidr AS. Ayat ini turun sebagai penegasan ilahi mengenai bahaya mengikuti hawa nafsu atau keinginan orang lain, terutama ketika seseorang telah dianugerahi ilmu pengetahuan yang sahih dari sisi Allah SWT. Kisah Nabi Musa yang awalnya merasa tertekan oleh ketidaktahuannya mengenai hikmah di balik tindakan Khidr, mencapai klimaksnya di ayat ini.
Inti dari ayat ini adalah peringatan keras: pengetahuan (ilmu) yang datang dari wahyu atau petunjuk ilahi harus menjadi kompas utama dalam hidup. Ketika ilmu sudah hadir—yaitu kebenaran yang diwahyukan Allah—maka mengikuti keinginan (hawa) yang bertentangan dengan ilmu tersebut adalah sebuah penyimpangan besar. Hawa di sini merujuk pada dorongan subjektif, prasangka, atau opini populer yang sering kali tidak didasarkan pada kebenaran absolut.
Allah SWT memberikan konsekuensi yang sangat tegas bagi mereka yang memilih mengikuti hawa nafsu meskipun sudah mengetahui kebenaran. Konsekuensinya adalah hilangnya "wali" (pelindung) dan "nashir" (penolong) dari sisi Allah. Dalam konteks tauhid, ini adalah kehilangan hubungan vertikal yang paling mendasar. Seorang mukmin bergantung sepenuhnya pada perlindungan dan pertolongan Tuhan. Jika ketergantungan itu diputus karena memilih jalan yang bertentangan dengan petunjuk-Nya (ilmu), maka ia menjadi sendirian dalam menghadapi segala kesulitan dan cobaan.
Dalam konteks kisah Nabi Musa, ketika Musa hampir menyerah pada desakan untuk memahami tindakan Khidr (seperti melubangi perahu dan membunuh anak), Allah mengingatkannya bahwa kesabaran dan penyerahan diri pada hikmah yang belum terungkap (yang merupakan bagian dari ilmu ilahi) adalah keharusan. Mengkritik atau menentang tindakan Khidr tanpa izin dan ilmu penuh adalah bentuk mengikuti pandangan mata dan logika terbatas manusia, bukan tunduk pada ilmu yang lebih tinggi.
Ayat ini memiliki relevansi abadi. Bagi umat Islam, ilmu yang dimaksud adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ketika seseorang telah mempelajari ajaran agama dan memahami hukum-hukum syariat, maka menuruti tren, budaya populer, atau keinginan pribadi yang secara eksplisit bertentangan dengan syariat adalah tindakan yang berbahaya.
Ilmu sejati menuntut ketaatan, bukan hanya sekadar pemahaman intelektual. Orang yang berilmu namun perilakunya dikendalikan oleh hawa nafsunya menunjukkan bahwa ilmu yang ia miliki belum mampu menembus hati dan jiwanya. Mereka yang berpegang teguh pada ilmu Allah akan menemukan bahwa meskipun dunia tampak menentang mereka, Allah adalah Wali (Pelindung) yang paling utama dan Nashir (Penolong) yang tidak pernah mengecewakan. Ayat ini menekankan bahwa jalan menuju keselamatan hanya satu: jalan yang dibimbing oleh wahyu, bukan jalan yang dibentuk oleh angan-angan atau opini mayoritas yang menyesatkan. Integritas keilmuan harus tercermin dalam ketaatan total kepada sumber ilmu itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Oleh karena itu, ketika kebenaran tampak sulit dipahami atau bertentangan dengan logika akal sempit (seperti kisah perahu yang dirusak), seorang mukmin sejati diperintahkan untuk bersabar, memegang teguh ilmu yang telah Allah berikan, dan menahan diri dari penghakiman berdasarkan asumsi dangkal. Ini adalah ujian terberat bagi keimanan setelah datangnya ilmu.