Surah Al-Kahfi, khususnya dalam kisah Musa bersama Khidir (yang dikenal sebagai ayat 60 hingga 82), menyajikan pelajaran mendalam tentang batas-batas pengetahuan manusia versus pengetahuan ilahiah. Ayat 74 ini merupakan bagian krusial di mana Nabi Musa mulai menunjukkan ketidakpahaman atau ketidakmampuannya dalam menerima tindakan Khidir yang tampak janggal di mata manusia biasa.
Setelah peristiwa perahu yang dilubangi, Musa dan Khidir melanjutkan perjalanan mereka menuju sebuah desa. Dalam ayat ini, diceritakan bahwa ketika mereka tiba di sana, mereka meminta jamuan makan atau tumpangan (istitha'am), namun penduduk desa tersebut menolak mereka dengan keras. Penolakan ini, yang secara sosial dianggap sebagai perlakuan buruk, sering kali memicu reaksi kemarahan atau kekecewaan pada diri manusia. Namun, Khidir tidak bereaksi dengan kemarahan. Sebaliknya, ia melihat sebuah peluang untuk menunjukkan hikmah yang tersembunyi.
Peristiwa penolakan penduduk desa menjadi ujian kesabaran bagi Nabi Musa. Ketika Musa mengungkapkan keinginan agar mereka setidaknya meminta imbalan jasa atas penolakan tersebut—sebuah reaksi yang sangat manusiawi ("Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk perbuatan itu")—Khidir langsung menjawab dengan teguran halus, yang akan dijelaskan lebih lanjut di ayat-ayat berikutnya.
Tindakan Khidir selanjutnya adalah menegakkan sebuah dinding yang hampir roboh. Dinding ini melambangkan kerapuhan dan potensi bahaya yang tidak terlihat oleh Musa. Penduduk desa yang kikir dan menolak memberi makan tamu mereka ternyata sedang dilindungi dari musibah yang lebih besar—keruntuhan rumah mereka.
Ayat 74 ini mengajarkan bahwa apa yang tampak sebagai kezaliman atau kekikiran (penolakan jamuan) mungkin saja merupakan perisai dari bahaya yang lebih besar yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan perwakilan-Nya. Musa, dengan ilmu kenabiannya yang tinggi, masih terikat pada logika sebab-akibat yang terlihat kasat mata. Ia berpikir, jika Khidir melakukan kebaikan (menegakkan dinding), selayaknya ada kompensasi duniawi.
Kisah ini menekankan pentingnya konsep kesabaran dalam menghadapi ketidakadilan atau perlakuan yang tidak menyenangkan. Ketika kita dihadapkan pada situasi yang tidak masuk akal, firman Allah mengingatkan kita untuk menahan diri dan mengingat bahwa terdapat hikmah yang jauh melampaui pemahaman kita saat itu.
Permintaan Musa untuk meminta upah juga menyoroti perbedaan antara ilmu 'syariat' (hukum yang terlihat) dan 'ilmu laduni' (pengetahuan langsung dari Tuhan). Musa adalah nabi besar yang mengajarkan syariat, sementara Khidir memiliki ilmu yang lebih luas mengenai takdir dan rahasia alam semesta.
Perjalanan Musa dan Khidir ini terus bergulir, dan setiap tindakannya, termasuk penolakan penduduk desa dan perbaikan dinding, adalah episode dalam kurikulum ilahi. Bagi pembaca, Surah Al-Kahfi ayat 74 berfungsi sebagai pengingat bahwa jangan terburu-buru menilai kebaikan atau keburukan suatu peristiwa sebelum melihat keseluruhan alur cerita dan tujuan akhir yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Kesabaran dalam penantian akan kejelasan hikmah adalah kunci utama yang dapat dipetik dari ayat mulia ini.