Simbolisasi Pencarian Ilmu dan Hikmah.
Surah Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surah agung dalam Al-Qur'an yang sarat dengan pelajaran hidup, terutama terkait ujian iman, kesabaran, dan bahaya kesombongan duniawi. Di antara kisah-kisah monumental di dalamnya—Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik dua kebun, dan Nabi Musa bersama Khidr—terdapat ayat penutup yang merangkum hikmah penting, yaitu ayat ke-78 hingga 82.
Fokus utama kita adalah pada Surah Al-Kahfi ayat 78. Ayat ini mengakhiri dialog antara Nabi Musa dan Khidr setelah peristiwa perpisahan mereka yang penuh misteri dan pembelajaran. Ayat ini menjadi penegasan bahwa intervensi ilahi sering kali melampaui pemahaman logis manusiawi yang terbatas.
[Khidr] berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan dari apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya."
Ayat 78 ini merupakan momen klimaks di mana Khidr, yang selama ini bertindak berdasarkan wahyu dan ilmu khusus yang tidak dimiliki Nabi Musa, akhirnya membuka tabir misteri di balik tindakannya—melubangi perahu, membunuh anak laki-laki, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh.
Poin krusial dalam ayat ini adalah pengakuan Khidr bahwa ada batas kemampuan Nabi Musa untuk menerima realitas di luar logika instan. Frasa "mā lam tastaṭiʿ ʿalayhi ṣabrā" (apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya) menekankan bahwa kesabaran seorang manusia, bahkan seorang Nabi besar seperti Musa, memiliki batas ketika dihadapkan pada kebijaksanaan ilahi yang belum terungkap.
Ini mengajarkan kita bahwa banyak kejadian dalam kehidupan, yang tampak tidak adil, merusak, atau tidak masuk akal saat itu, sesungguhnya adalah bagian dari skenario besar yang bertujuan baik (hikmah). Kita sering kali gagal bersabar karena kita hanya melihat permukaan, bukan kedalaman tujuan akhir.
Dalam konteks kehidupan kontemporer, di mana segala sesuatu harus segera dijelaskan dan dibuktikan, Surah Al-Kahfi ayat 78 mengingatkan kita untuk menahan diri dari penghakiman cepat.
Memahami ayat ini bukan hanya tentang mengetahui apa yang terjadi setelahnya (yaitu penjelasan Khidr di ayat 79-82), tetapi tentang bagaimana kita harus bereaksi saat kita berada di tengah "ketidakmampuan untuk bersabar." Ayat ini adalah izin ilahi untuk merasa bingung, asalkan kebingungan itu tidak berujung pada hilangnya iman atau protes terhadap takdir.
Meskipun fokus kita pada satu ayat, penting untuk diingat bahwa Surah Al-Kahfi secara keseluruhan berfungsi sebagai pelindung dari empat fitnah besar: fitnah agama (pemuda Ashabul Kahfi), fitnah harta (pemilik kebun), fitnah ilmu (Nabi Musa dan Khidr), serta fitnah kekuasaan/otoritas (Dzulqarnain). Ayat 78 menjadi penutup yang elegan dari bab pelajaran tentang batasan ilmu manusia. Dengan merenungkan ayat ini, kita diingatkan untuk selalu berserah diri pada ilmu Allah yang Maha Luas dan Maha Mengetahui segalanya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.