Surah Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai penawar fitnah terbesar, terutama fitnah harta, kekuasaan, ilmu, dan waktu. Ayat 84 hingga 110 menutup pembahasan utama surat ini dengan memberikan pelajaran penting mengenai keteguhan hati seorang pemimpin, yaitu Zulkarnain, serta konsekuensi dari perbuatan manusia di akhirat.
Bagian ini menggarisbawahi bahwa keberhasilan sejati di dunia dan akhirat bergantung pada bagaimana kita menggunakan anugerah Allah. Ayat-ayat ini adalah pengingat kuat bahwa setiap karunia—kekayaan, kekuatan, atau umur panjang—adalah amanah yang harus digunakan sesuai dengan prinsip keimanan.
Setelah kisah Ashabul Kahfi (pemuda Ashabul Kahfi) yang menunjukkan keteguhan iman dalam menghadapi penindasan keyakinan, Allah SWT memperkenalkan sosok Zulkarnain. Ia adalah seorang penguasa yang sangat kuat dan diberi kemampuan untuk menjelajahi penjuru bumi. Namun, kekuatan ini tidak membuatnya sombong atau zalim.
Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadanya kekuasaan di bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu. (84)
Kunci dari kepemimpinan Zulkarnain adalah kesadaran bahwa semua kekuasaan berasal dari Allah. Ketika ia melakukan perjalanan dan menemukan kaum yang diserang oleh kaum perusak (Yajuj dan Majuj), ia tidak meminta upah atas bantuannya. Ia hanya meminta mereka untuk menolongnya dengan tenaga, karena ia ingin menegakkan keadilan murni, bukan mencari keuntungan pribadi.
Puncak kisahnya adalah pembangunan tembok penghalang antara kaum yang tertindas dengan Yajuj dan Majuj. Tindakan ini menunjukkan kebijaksanaan seorang pemimpin yang menggunakan sumber daya (kekuatan dan ilmu) untuk melindungi kelemahan. Ia menutup celah itu bukan karena ia lebih superior, tetapi karena itu adalah perintah dan kebaikan yang diwajibkan Allah.
Ia (Zulkarnain) berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, namun apabila janji Tuhanku telah datang, Dia akan menjadikannya rata dengan tanah; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (98)
Pengakuan Zulkarnain di ayat 98 sangat mendalam. Ia sadar bahwa tembok kokoh yang ia bangun hanyalah rahmat sementara. Suatu saat nanti, ketika Hari Kiamat tiba, semua kekuatan duniawi, termasuk benteng terkuat, akan dihancurkan oleh ketetapan Allah. Ini adalah pelajaran besar bagi umat manusia: Jangan pernah bersandar pada kekuatan materi atau pencapaian duniawi sebagai tujuan akhir.
Setelah kisah Zulkarnain, pembahasan beralih kembali pada peringatan umum. Allah menjelaskan bahwa batas akhir pengetahuan manusia adalah pada ciptaan-Nya. Kesombongan untuk mengklaim mengetahui hal gaib atau melampaui batas ilmu yang diberikan adalah kesia-siaan.
Ayat 103 dan 104 memberikan peringatan keras bagi orang yang menyia-nyiakan amal mereka di dunia, mengira bahwa semua perbuatan baik mereka akan diterima karena nama besar atau kehebatan yang mereka miliki. Mereka justru menolak ayat-ayat Allah dan menganggap remeh peringatan akhirat.
Ayat penutup ini memberikan kesimpulan tegas mengenai tujuan hidup. Orang-orang yang amalannya ringan di timbangan kebaikan (karena kurangnya keikhlasan atau penolakan terhadap kebenaran) akan menanggung kerugian abadi di neraka.
Mereka itulah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan pertemuan dengan-Nya, maka terhapuslah segala amal mereka; Kami tidak memberikan penimbangan bagi mereka pada hari Kiamat. (105)
Sebaliknya, bagi orang yang beriman, ikhlas, dan beramal saleh, tempat kembali mereka adalah surga Firdaus yang menjadi penghargaan tertinggi dari Allah SWT. Surga ini bukan sekadar hadiah, melainkan tempat peristirahatan kekal yang diciptakan khusus bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
Ayat penutup, ayat 110, menjadi rangkuman seluruh prinsip dalam surat Al-Kahfi: jadilah manusia yang mengesakan Allah, teguh dalam amal, dan selalu waspada bahwa setiap langkah di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Ayat 84 hingga 110 mengajarkan bahwa kekuasaan dan harta (seperti yang dimiliki Zulkarnain) hanyalah sarana. Jika digunakan untuk menegakkan keadilan dan ketaatan kepada Allah, ia adalah rahmat. Jika disalahgunakan, ia adalah ujian yang menghapus nilai amal. Inti dari kebahagiaan abadi bukanlah seberapa besar kerajaan dunia yang kita bangun, melainkan seberapa besar keikhlasan yang kita bawa saat bertemu dengan Allah SWT.