Ilustrasi janji Allah saat malam menyelimuti.
Surah Al-Lail (Malam Hari) adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang kaya makna. Ayat-ayat pembukanya (ayat 1 hingga 7) dimulai dengan sumpah-sumpah agung yang langsung menarik perhatian pendengar dan pembaca, menekankan kebesaran ciptaan Allah SWT. Sumpah ini bukan tanpa tujuan; tujuannya adalah untuk menegaskan janji bahwa setiap usaha manusia, baik atau buruk, pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Mari kita telaah bersama makna yang terkandung dalam tujuh ayat pertama Surah Al-Lail ini, yang menjadi fondasi penting dalam konsep keadilan ilahi.
Ayat pertama adalah sumpah demi waktu malam. Malam hari seringkali diasosiasikan dengan ketenangan, kegelapan yang menutupi segala aktivitas, dan waktu kontemplasi. Dalam konteks spiritual, kegelapan malam bisa melambangkan kesulitan atau keraguan, namun di sini Allah bersumpah dengan fenomena alam yang maha dahsyat ini untuk menarik perhatian kepada pesan yang akan disampaikan.
Setelah kegelapan malam, Allah bersumpah dengan terangnya siang hari. Kontras antara malam dan siang menunjukkan kekuasaan Allah yang mengatur siklus alam semesta secara sempurna. Siang hari adalah waktu untuk bekerja, berusaha, dan menampilkan hasil jerih payah. Kedua kondisi ini (gelap dan terang) adalah saksi atas kekuasaan-Nya.
Sumpah ketiga adalah tentang penciptaan manusia itu sendiri, khususnya pembedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ini adalah tanda kebesaran yang sangat nyata di hadapan kita. Penciptaan makhluk hidup, apalagi dengan dualitas yang saling melengkapi ini, membuktikan keahlian dan tujuan agung Sang Pencipta.
Ini adalah inti dari rangkaian sumpah tersebut. Setelah menetapkan skala kebesaran ciptaan-Nya (alam dan manusia), Allah menegaskan bahwa cara manusia berusaha atau beramal itu sangat beragam. Ada yang berusaha di jalan kebaikan, ada yang berusaha di jalan kesesatan. Usaha ini tidak akan sia-sia di mata-Nya.
Ayat 5 dan seterusnya mulai menjelaskan dua jenis usaha yang "bermacam-macam" tersebut. Jenis pertama adalah mereka yang berbuat kebajikan. Mereka menginfakkan harta mereka (memberi) dan memelihara diri dari perbuatan dosa (bertakwa). Ini adalah ciri khas orang yang memahami tujuan hidupnya adalah akhirat.
Orang yang beriman tidak hanya beramal, tetapi juga membenarkan janji Allah tentang surga (al-husna). Pembenaran ini memotivasi mereka untuk terus beramal tanpa ragu, karena mereka yakin bahwa kebaikan sekecil apapun akan diganjar dengan pahala terbaik.
Sebagai konsekuensi logis dari ketaatan dan pembenaran terhadap janji Allah, janji balasan langsung diberikan: kemudahan. Allah akan mempermudah urusan dunia dan akhirat bagi mereka yang beramal saleh. Jalan menuju kebaikan akan dilapangkan, dan hambatan akan diangkat.
Tujuh ayat pertama Surah Al-Lail ini berfungsi sebagai pengingat tegas bahwa realitas kehidupan kita diatur oleh prinsip sebab-akibat yang absolut di bawah pengawasan Allah. Sumpah demi malam, siang, dan dualitas penciptaan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada menjadi saksi atas pertanggungjawaban kita.
Fokus utama dari ayat-ayat ini adalah pada tindakan nyata: memberi dan bertakwa, serta keyakinan teguh terhadap hari pembalasan. Ayat 7 memberikan harapan besar. Jika kita memilih jalan kebaikan—mengorbankan kenyamanan duniawi (malam) dan menggunakan waktu terang (siang) untuk beribadah dan membantu sesama—maka Allah sendiri yang akan menjamin bahwa jalan menuju hasil akhir yang kita inginkan (al-yusra, kemudahan) akan terbentang luas di hadapan kita. Ini adalah jaminan ketenangan bagi jiwa yang berusaha di tengah hiruk pikuk dunia.
Ayat-ayat selanjutnya (ayat 8 hingga seterusnya, yang membahas tentang orang yang kikir dan kufur) menjadi kontras yang jelas, menegaskan bahwa jalan kesengsaraan juga tersedia bagi mereka yang menolak untuk berinfak dan membenarkan janji akhirat. Dengan demikian, Al-Lail 1-7 menjadi dorongan abadi untuk memilih jalur syukur dan kedermawanan.