Surah Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan", adalah surah pertama dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan merupakan ruh dari keseluruhan isi Kitabullah. Keistimewaannya tidak terhitung; ia disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Kitab), As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), dan nama-nama agung lainnya. Memahami tafsir setiap ayatnya adalah kunci untuk menghayati makna shalat kita, karena surah ini wajib dibaca dalam setiap rakaat.
Tafsir Surah Al-Fatihah bukan sekadar terjemahan kata per kata, melainkan penggalian makna spiritual, hukum, dan akidah yang terkandung di dalamnya. Tujuh ayat ini mencakup pondasi tauhid, pengakuan akan kekuasaan mutlak Allah, permohonan petunjuk, hingga penutup doa yang memohon perlindungan dari kesesatan.
Meskipun perbedaan pendapat ulama mengenai apakah Basmalah termasuk ayat pertama Al-Fatihah atau ayat tersendiri yang memisahkan surat, mayoritas ulama Syafi'iyah dan Syi'ah menganggapnya sebagai bagian dari ayat pertama. Maknanya jelas: setiap permulaan yang diawali dengan nama Allah akan mendapatkan keberkahan, perlindungan, dan rahmat-Nya. Nama Ar-Rahman (Maha Pengasih) bersifat umum untuk seluruh makhluk di dunia, sedangkan Ar-Rahim (Maha Penyayang) lebih spesifik, yaitu kasih sayang yang dilimpahkan khusus kepada orang-orang beriman di akhirat kelak.
Ayat kedua ini memuat inti pujian (Al-Hamd). Pujian di sini mencakup rasa syukur dan pengakuan bahwa segala bentuk kesempurnaan hanya dimiliki Allah. Frasa Rabbil 'Alamin (Tuhan semesta alam) menegaskan bahwa Dia adalah Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur seluruh eksistensi, mulai dari alam mikro hingga makro kosmos. Ini adalah pernyataan tauhid rububiyah (keesaan dalam menciptakan dan memelihara).
Ayat ini, yang sering diulang setelah Basmalah, menegaskan kembali sifat rahmat Allah yang tak terbatas. Ini berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun Allah adalah Penguasa mutlak, Dia mendahulukan sifat kasih sayang-Nya dalam berinteraksi dengan hamba-Nya.
Ayat ini memfokuskan pandangan hamba kepada hari kiamat. Di hari itu, tidak ada raja lain selain Allah SWT. Semua kekuasaan di dunia akan lenyap, dan hanya penguasaan-Nya yang berlaku mutlak untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan surga dan siapa yang menerima balasan atas kesalahannya. Ayat ini menanamkan rasa tanggung jawab atas setiap perbuatan.
Ini adalah inti dari syahadat 'Laa ilaaha illallah' dan 'Muhammadur Rasulullah' yang terangkum dalam satu ayat. "Hanya Engkaulah yang kami sembah" (Iyyaka Na'budu) adalah penegasan tauhid uluhiyah (keesaan dalam peribadatan), memastikan ibadah tidak ditujukan kepada selain-Nya. Sementara "hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Iyyaka Nasta'in) adalah pengakuan kerendahan diri bahwa segala upaya dan kekuatan harus bersumber dari izin dan pertolongan ilahi. Kedua hal ini tidak boleh dipisahkan.
Setelah memuji Allah dan menyatakan pengabdian, manusia secara naluriah menyadari ketidakmampuannya untuk berjalan lurus tanpa bimbingan. Permintaan petunjuk ini adalah doa paling mendasar. Jalan lurus (As-Shirathal Mustaqim) ditafsirkan sebagai Islam itu sendiri, yaitu jalan yang ditempuh oleh para nabi dan orang-orang saleh.
Ayat penutup ini memperjelas makna "jalan lurus" tersebut. Jalan yang diridhai adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat (seperti para nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin). Kontrasnya, muslim memohon agar dijauhkan dari dua kelompok yang celaka:
1. Al-Maghdhub 'alaihim (Mereka yang dimurkai): Merujuk pada mereka yang mengetahui kebenaran tetapi menolaknya (seperti Yahudi).
2. Adh-Dhaallin (Mereka yang sesat): Merujuk pada mereka yang beribadah tanpa ilmu (seperti Nasrani).
Dengan memahami tafsir Surah Al-Fatihah secara mendalam, setiap bacaan dalam shalat menjadi sebuah dialog yang menyentuh akar keimanan, memastikan bahwa kita tidak hanya melisankan ayat, tetapi juga menghayati janji dan pengakuan yang ada di dalamnya.