Surat Ad-Dhuha, yang terdiri dari 11 ayat pendek namun sarat makna, merupakan salah satu surat Makkiyah yang diturunkan pada saat Nabi Muhammad SAW mengalami masa-masa sulit dan jeda wahyu. Surat ini menjadi penyejuk hati Rasulullah dan umatnya, menawarkan janji penghiburan, kepastian kasih sayang Allah SWT, serta harapan yang cerah setelah kegelapan.
Fokus utama dari 11 ayat pertama ini adalah untuk menegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan (memutus hubungan) dengan hamba-Nya yang dicintai, sekaligus mengingatkan akan karunia-karunia agung yang telah diberikan.
Demi waktu dhuha (ketika matahari naik tinggi).
Dan demi malam apabila telah sunyi.
Sumpah Allah SWT pada dua ayat pertama ini—dengan waktu pagi yang cerah (Dhuha) dan malam yang pekat—adalah untuk memberikan penekanan kuat terhadap janji yang akan mengikuti. Ini adalah sumpah yang mengikat, menegaskan bahwa apa yang akan disampaikan bukanlah main-main.
Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) murka.
Ayat 3 adalah inti penghiburan. Ketika Nabi SAW merasa sedih karena jeda wahyu yang dirasakan seperti ditinggalkan Allah, turunlah ayat ini untuk menepis keraguan tersebut. Kata "wadda'aka" (meninggalkanmu) dan "qala" (murka) menegaskan status Nabi yang senantiasa dijaga dan dicintai oleh Rabb-nya.
Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagimu daripada (dunia) yang pertama.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
Dua ayat ini memberikan perspektif jangka panjang. Kesulitan duniawi sifatnya sementara, sementara kenikmatan akhirat (termasuk syafaat dan kedudukan tinggi di surga) jauh lebih mulia dan kekal. Janji "fatarḍā" (sehingga engkau puas) adalah janji tertinggi bagi seorang Nabi, sebuah kedudukan keridhaan ilahi yang didambakan.
Setelah memberikan penghiburan tentang masa depan, Allah SWT kemudian mengingatkan Nabi Muhammad SAW mengenai karunia-karunia yang telah dilimpahkan sejak masa awal kehidupannya, sebagai bukti bahwa Allah tidak pernah meninggalkan beliau:
Bukankah Dia mendapatimu seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Dan Dia mendapatimu kebingungan, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Tiga nikmat fundamental ini—perlindungan saat yatim piatu, petunjuk saat bingung, dan kecukupan saat fakir—adalah fondasi penguatan iman. Jika Allah telah menjaga dari awal kehidupan, mengapa kini diragukan pertolongan-Nya?
Penutup Surat Ad-Dhuha (ayat 9-11) memberikan instruksi yang jelas mengenai bagaimana seharusnya seorang mukmin merespons janji dan nikmat yang telah diterima:
Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau mengusirnya.
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau syiarkan (ceritakan).
Ayat 9 dan 10 adalah perintah untuk berempati dan berbuat baik kepada mereka yang lemah (yatim dan peminta). Sementara ayat 11 menekankan pentingnya bersyukur secara verbal dan nyata. Bersyukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah," tetapi juga dengan menceritakan nikmat itu, yang secara tidak langsung mendorong orang lain untuk memuji Allah dan meneladani kedermawanan tersebut.
Secara keseluruhan, Surat Ad-Dhuha ayat 1-11 adalah paket lengkap motivasi spiritual: penegasan kasih sayang Ilahi, janji kemuliaan akhirat, pengingat atas pertolongan masa lalu, dan panduan praktis tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup dengan rasa syukur dan welas asih.