"Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn"
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Ayat kelima dari Surat Al-Fatihah merupakan puncak dari pengakuan tauhid (keesaan Allah) yang telah dibangun pada ayat-ayat sebelumnya. Setelah mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah (Ar-Rahman, Ar-Rahim, Malik Yaumiddin), seorang hamba kini memasuki fase pengakuan totalitas pengabdian dan ketergantungan. Ayat ini adalah inti dari ibadah seorang Muslim.
Frasa ini mengandung makna pengkhususan ibadah. Kata "iyyāka" (hanya Engkau) diletakkan di depan "na'budu" (kami sembah) untuk penekanan (taqdim al-maf'ul 'alā al-fi'l). Ini menegaskan bahwa segala bentuk penyembahan—baik dalam bentuk ritual (shalat, puasa, zakat) maupun dalam bentuk ketaatan total terhadap syariat—hanya ditujukan kepada Allah SWT semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hak untuk disembah. Jika ada sedikit saja keraguan atau penyimpangan ibadah kepada selain Allah, maka makna inti ayat ini telah terenggut.
Ibadah bukan hanya ritual fisik, tetapi juga meliputi ketaatan hati, lisan, dan perbuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan petunjuk-Nya.
Setelah menyatakan pengabdian, seorang hamba kemudian menyatakan ketergantungan mutlak. "Nasta'īn" berarti kami meminta pertolongan atau bantuan. Bagian ini menunjukkan kelemahan manusia dan kebutuhan absolutnya akan kekuatan ilahi untuk melaksanakan ibadah yang telah diikrarkan sebelumnya.
Meminta pertolongan kepada Allah adalah bentuk penyerahan diri yang sempurna. Kita menyadari bahwa sekuat apa pun usaha kita, keberhasilan sejati hanya datang dari izin dan pertolongan-Nya. Inilah sebabnya ayat ini sering dikutip dalam setiap rakaat shalat; seorang Muslim diingatkan bahwa ia tidak mampu beribadah dengan sempurna tanpa bimbingan dan kekuatan dari Sang Pencipta.
Penggabungan penyembahan (ibadah) dan permohonan pertolongan (isti'anah) dalam satu ayat menunjukkan keseimbangan fundamental dalam Islam. Seseorang tidak bisa hanya beribadah tanpa memohon bimbingan, dan sebaliknya, tidak sah pula memohon pertolongan jika tidak disertai niat untuk beribadah kepada-Nya. Ayat kelima ini adalah janji setia bahwa seluruh eksistensi hamba, dari niat terdalam hingga tindakan terluar, berada di bawah otoritas dan bergantung sepenuhnya pada Allah SWT.
Dengan mengucapkan ayat ini, seorang Muslim menegaskan posisinya di hadapan Rabb-nya: sebagai hamba yang tunduk sepenuhnya dan sebagai pemohon yang sadar akan keterbatasannya. Inilah fondasi spiritual yang membuat Al-Fatihah menjadi "Ummul Kitab" (Induk Al-Qur'an).