Surat Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan," adalah jantung dari setiap rakaat salat umat Islam. Terdiri dari tujuh ayat, surat ini memuat pujian, pengakuan keesaan Allah, penetapan hari pembalasan, hingga permohonan bimbingan yang berkelanjutan. Namun, di antara tujuh ayat tersebut, ayat terakhir seringkali mendapatkan perhatian khusus karena mengandung inti permohonan seorang hamba kepada Penciptanya.
Ayat terakhir Al-Fatihah, yakni ayat ketujuh, memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam shalat. Ayat ini adalah penutup dari rangkaian doa yang telah dirangkai secara sempurna, mengantarkan seorang makmum dari pujian dan pengagungan menuju permohonan pertolongan yang paling otentik dan mendesak.
(yaitu) jalan orang-orang yang Engkauberi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat ini secara tegas memisahkan jalan yang diridhai Allah dari dua jalan utama kesesatan yang telah disinggung secara implisit pada ayat-ayat sebelumnya: jalan mereka yang dimurkai (*al-maghḍūbi ‘alaihim*) dan jalan mereka yang sesat (*aḍ-ḍāllīn*). Memahami perbedaan kedua kategori ini sangat penting untuk menghayati makna ayat **surat al fatihah ayat terakhir** secara menyeluruh.
Imam-imam tafsir klasik, seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari, menjelaskan perbedaan mendasar antara dua kelompok yang disebutkan dalam permohonan ini.
Kelompok ini merujuk pada mereka yang mengetahui kebenaran (ilmu) tetapi menolaknya karena kesombongan, keengganan, atau kebencian. Mereka tahu apa yang benar, tetapi memilih untuk tidak mengikutinya. Dalam konteks sejarah, tafsir sering mengaitkan kelompok ini dengan kaum Yahudi yang menolak kenabian Muhammad SAW meskipun telah menerima Taurat dan janji-janji kenabian. Mereka memiliki ilmu, namun hati mereka tertutup oleh murka Ilahi karena penolakan sadar.
Kelompok kedua adalah mereka yang tersesat karena ketidaktahuan (ignoransi) atau tanpa sengaja. Mereka tidak memiliki ilmu yang benar mengenai kebenaran, sehingga mereka tersesat dalam kegelapan tanpa niat jahat yang disengaja. Kelompok ini sering dikaitkan dengan kaum Nasrani yang, menurut pandangan Islam, terlalu berlebihan dalam memuja Nabi Isa AS hingga menyimpang dari ajaran tauhid murni.
Dengan memohon agar dijauhkan dari kedua jalan ini, seorang Muslim sedang menegaskan komitmennya untuk menempuh jalan pertengahan, yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat (An’amta ‘Alaihim)—para Nabi, Siddiqin, Syuhada, dan Shalihin. Ini adalah posisi ideal: memiliki ilmu yang benar dan mengamalkannya dengan tulus.
Permohonan dalam ayat ini bukanlah sekadar pengulangan doa, melainkan sebuah penegasan epistemologi (cara memperoleh ilmu) dan metodologi spiritual. Ketika kita mengucapkan surat al fatihah ayat terakhir, kita sedang meminta agar Allah menjaga kita dari dua bahaya terbesar dalam perjalanan iman:
Ayat penutup ini berfungsi sebagai 'kunci' atau 'penutup' yang menyempurnakan seluruh makna Al-Fatihah. Setelah memuji Allah (Ayat 1-4) dan menyatakan kebutuhan mutlak akan pertolongan-Nya (Ayat 5-6), kita diakhiri dengan permintaan perlindungan agar tidak tergelincir ke dalam kesesatan yang telah terbukti merusak umat-umat terdahulu.
Oleh karena itu, setiap kali kita menyelesaikan surat ini dalam salat, kita sesungguhnya sedang melakukan pembaruan janji (bai'at) spiritual: "Ya Allah, bimbinglah aku pada jalan lurus, dan jauhkan aku dari segala bentuk penyimpangan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja." Pengulangan ini memastikan bahwa petunjuk Ilahi selalu menjadi prioritas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim.