Kisah Perjalanan Ilmiah Musa dan Khidir (Al-Kahfi Ayat 60-83)

Titik Batas Ilustrasi pertemuan Musa dan Khidir di pertemuan dua lautan.

Pengantar Kisah Musa dan Khidir

Surat Al-Kahfi, yang dikenal sebagai surat perlindungan dari fitnah Dajjal, menyimpan banyak kisah hikmah yang mendalam. Salah satu narasi paling penting dan sering menjadi bahan perenungan adalah kisah pertemuan antara Nabi Musa AS dengan seorang hamba saleh yang memiliki ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah), yang dikenal sebagai Khidir AS. Kisah ini terbentang jelas dari ayat 60 hingga 82 (dan berlanjut ke ayat 83). Ayat-ayat ini mengajarkan kita tentang keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi misteri ilahi, dan bahwa hikmah Allah terkadang tersembunyi di balik tindakan yang tampak buruk di mata awam.

Permulaan perjalanan ini diceritakan dalam ayat 60. Musa memutuskan untuk mencari titik pertemuan dua lautan, sebuah lokasi yang telah ditentukan Allah SWT sebagai tempat ia akan bertemu dengan Khidir. Musa ditemani oleh pemuda (disebutkan dalam tafsir sebagai Yusa bin Nun), membawa bekal mereka. Setelah perjalanan panjang, mereka mencapai batas yang dituju.

Lupa dan Janji yang Teruji (Ayat 61-65)

Ketika kedua sosok itu tiba di lokasi pertemuan, Musa dan pemudanya beristirahat di dekat batu besar. Di sinilah ujian pertama dimulai. Seekor ikan yang mereka bawa sebagai bekal tiba-tiba hidup dan melompat ke laut. Musa lalai dan tidak menyadari kepergian ikan tersebut, sementara Khidir menyadarinya.

"Maka tatkala mereka telah sampai ke tempat pertemuan antara keduanya, mereka lupa akan ikan mereka, lalu ikan itu melompat ke laut dengan cara yang aneh." (QS. Al-Kahfi: 61)

Ketika Musa teringat, ia memberitahu Khidir. Khidir merespons dengan nada yang penuh makna: "Itulah yang kita cari!" Hal ini menandakan bahwa hilangnya ikan tersebut adalah petunjuk pertama bahwa mereka telah tiba di tujuan. Ayat 64 menegaskan bahwa pertemuan ini adalah janji yang harus ditepati. Musa kemudian berjanji untuk bersabar mengikuti Khidir, tidak menanyakan apa pun, kecuali Khidir sendiri yang akan membahasnya.

Tiga Peristiwa Penuh Hikmah (Ayat 66-82)

Perjalanan bersama Khidir kemudian menampilkan tiga peristiwa kontroversial yang menguji kesabaran dan pemahaman Musa. Peristiwa pertama adalah perusakan perahu. Khidir melubangi perahu tersebut. Musa terkejut dan langsung memprotes tindakan itu, yang dianggap merugikan pemilik perahu. Khidir mengingatkannya akan janji kesabaran Musa.

Peristiwa kedua adalah pembunuhan seorang anak laki-laki yang tampaknya sehat. Ini adalah ujian yang jauh lebih berat bagi Nabi Musa. Ia merasa sangat terkejut hingga bersumpah tidak akan pernah lagi menemani Khidir jika ia bertanya lagi.

"Sungguh kamu telah melakukan suatu perbuatan yang mungkar." (QS. Al-Kahfi: 74)

Peristiwa ketiga adalah perbaikan dinding yang hampir roboh di sebuah desa. Ketika penduduk desa menolak memberi mereka jamuan, Khidir justru menegakkan dinding itu tanpa meminta upah. Kali ini, Musa merasa tindakannya kurang pas; ia menyarankan agar setidaknya mereka meminta imbalan atas jasa perbaikan tersebut.

Di ayat 78, Khidir akhirnya memutuskan untuk menjelaskan segala hikmah di balik tindakannya. Ternyata, setiap perbuatan yang tampak aneh adalah bagian dari kehendak ilahi untuk tujuan yang lebih besar. Perahu dirusak karena ada raja zalim yang merampas perahu-perahu bagus. Anak laki-laki itu dibunuh karena ia kelak akan memaksa kedua orang tuanya yang beriman untuk kufur. Sementara dinding diperbaiki karena di bawahnya terdapat harta peninggalan dua anak yatim piatu, dan Allah menghendaki mereka memilikinya saat dewasa.

Pelajaran Penting dari Ayat 60-83

Kisah ini memberikan pelajaran mendalam mengenai konsep ilmu. Musa, seorang Nabi yang diberi wahyu, mengakui keunggulannya dalam hukum syariat, namun ia mengakui bahwa Khidir memiliki pengetahuan (ilmu ladunni) yang tidak dimiliki Musa. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas ilmu dalam Islam tidak selalu bersifat tunggal; selalu ada tingkatan dan jenis ilmu yang berbeda.

Pesan utamanya adalah kerendahan hati (tawadhu') di hadapan kebesaran ilmu Allah. Musa belajar untuk menahan lisan, sabar dalam menghadapi ketidakpahaman, dan percaya bahwa di balik setiap peristiwa ada makna yang mendalam yang melampaui logika manusiawi. Kisah ini adalah pengingat bahwa pandangan terbatas kita seringkali gagal memahami tatanan kosmik yang sempurna yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Perpisahan mereka di akhir ayat 82 menegaskan batas antara jenis ilmu yang berbeda dan berakhirnya pembelajaran langsung tersebut.

🏠 Homepage