Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, sering kali menjadi bacaan utama pada hari Jumat karena mengandung kisah-kisah pelajaran penting mengenai keimanan, ujian, dan konsekuensi dari perbuatan kita. Ayat 103 hingga 104 secara spesifik memberikan peringatan keras mengenai kondisi kerugian yang dialami oleh mereka yang salah memahami tujuan hidup di dunia.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai penutup dari rangkaian kisah utama dalam surat tersebut—termasuk Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik dua kebun yang sombong, dan kisah Nabi Musa dengan Khidr. Semua kisah tersebut mengarahkan pada satu kesimpulan fundamental: duniawi adalah ilusi yang fana, dan usaha yang tidak didasari iman akan berakhir sia-sia di akhirat.
Ayat 103 adalah pembuka retoris yang mengajak perhatian penuh. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bertanya, "Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya?" Kata "Al-Akhsarīn" (paling rugi) menunjukkan tingkatan kerugian terparah; bukan sekadar rugi, tetapi kehilangan modal paling berharga—yaitu amal baik yang diharapkan menjadi penolong.
Ayat 104 memberikan deskripsi detail mengenai golongan ini. Ada dua poin utama yang menjadikan mereka paling merugi:
Contoh nyata dari golongan ini sering dikaitkan dengan mereka yang terlalu larut dalam kesenangan dunia (seperti pemilik kebun yang sombong) atau mereka yang menuhankan hawa nafsu dan pemikiran mereka sendiri, menganggap bahwa pencapaian materi atau pujian manusia adalah ukuran keberhasilan hakiki. Mereka mengumpulkan harta, membangun pencapaian, namun ketika dihadapkan pada timbangan akhirat, semua itu tidak bernilai apa-apa karena pondasi keimanannya rapuh atau tidak ada.
Pelajaran fundamental dari Al Kahfi ayat 103-104 adalah perlunya introspeksi diri secara berkelanjutan. Manusia harus selalu memeriksa niat dan metode amalannya. Amal yang paling besar sekalipun jika dilakukan tanpa keikhlasan dan tanpa mengikuti petunjuk Allah, akan menjadi beban kerugian abadi.