Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, kaya akan pelajaran hidup, kisah teladan, dan peringatan penting. Salah satu ayat penutup yang sering menjadi perenungan mendalam adalah ayat ke-108. Ayat ini menjadi kesimpulan penting mengenai hakikat keabadian dan kelemahan eksistensi duniawi dibandingkan dengan janji akhirat.
Teks dan Terjemahan Ayat 108
Penegasan Status Kenabian
Ayat 108 dimulai dengan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menegaskan hakikat dirinya: "Katakanlah (Muhammad): 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu...'". Pengakuan ini sangat fundamental. Nabi Muhammad bukanlah dewa atau makhluk yang terpisah dari kemanusiaan. Beliau mengalami lapar, haus, sakit, dan kematian layaknya manusia lain. Penekanan ini berfungsi ganda: pertama, untuk menolak klaim ilahiyah dari orang-orang musyrik yang mungkin memuja beliau; kedua, untuk menetapkan bahwa wahyu yang dibawa adalah murni dari Allah, bukan hasil rekayasa pribadi seorang manusia.
Inti dari wahyu yang diterima adalah tauhid murni: "...bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Ini adalah inti ajaran Islam. Kontras antara kemanusiaan pembawa risalah dan keesaan Zat yang diwahyukan sangat jelas. Nabi hanyalah saluran, objek yang menerima pesan Ilahi, sementara pesan itu sendiri bersifat absolut dan tunggal.
Harapan Bertemu Tuhan dan Amal Saleh
Bagian selanjutnya dari ayat ini mengalihkan fokus dari siapa Nabi kepada bagaimana seharusnya umat bertindak: "...maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh..." Harapan untuk "bertemu dengan Tuhan" (لقاء ربه - liqaa'i Rabbih) merujuk pada Hari Kiamat, saat setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban. Pertemuan ini adalah puncak tujuan orang beriman.
Namun, harapan itu tidak cukup hanya dengan klaim lisan. Amal saleh—perbuatan baik yang sesuai dengan tuntunan syariat—menjadi tolok ukur kesiapan menghadapi hari tersebut. Amal saleh mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari ibadah ritual (salat, puasa) hingga interaksi sosial (kejujuran, keadilan, menolong sesama).
Larangan Syirik dalam Ibadah
Ayat ditutup dengan batasan yang sangat tegas dan mutlak: "...dan jangan ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." Syirik, atau menyekutukan Allah, adalah dosa terbesar yang tidak terampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan tersebut tanpa bertobat. Ayat ini menggarisbawahi bahwa keabsahan amal saleh bergantung sepenuhnya pada kemurnian niat (ikhlas). Sebesar apapun pahala yang terlihat dari suatu perbuatan, jika dicampuri dengan riya' (ingin dilihat manusia) atau unsur kesyirikan lainnya, maka amal tersebut akan hangus.
Surat Al-Kahfi sendiri diwarnai dengan kisah-kisah yang mengajarkan tentang ujian kekuasaan (Ashabul Kahfi), ujian harta (pemilik dua kebun), ujian ilmu (Nabi Musa dan Khidr), dan ujian kepemimpinan (Dzulkarnain). Ayat 108 berfungsi sebagai pintu keluar (solusi) dari semua ujian tersebut: pegang teguh tauhid, lakukan yang terbaik dalam batas kemampuan kemanusiaanmu, dan pastikan segala baktimu hanya ditujukan kepada Sang Pencipta.
Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah pengingat konstan bahwa fokus hidup harus dialihkan dari pencarian kesenangan duniawi yang fana (yang sifatnya sementara seperti mimpi) menuju persiapan abadi. Persiapan itu adalah kombinasi antara keyakinan yang kokoh (tauhid) dan tindakan nyata yang murni (amal saleh).
Memahami Surat Al-Kahfi ayat 108 adalah memahami esensi dakwah kenabian: mengakui keterbatasan diri sebagai manusia, memuliakan keesaan Allah, dan bekerja keras dengan harapan tulus untuk menerima rahmat-Nya di akhirat. Ini adalah cetak biru spiritual yang relevan di setiap zaman dan kondisi.