Ilustrasi fokus dan batas waktu amal.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَا۟ىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi',”
(Kecuali jika kamu menambahkan dengan ucapan): 'Insya Allah'.
(QS. Al-Kahfi: 24)
Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua," adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an yang penuh dengan pelajaran moral dan spiritual. Ayat 24 khususnya, seringkali menjadi sorotan utama dalam pembahasan mengenai perencanaan hidup, optimisme, dan tauhid dalam bertindak. Ayat ini merupakan bagian dari rentetan peringatan dan nasihat yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW, meskipun konteksnya sangat relevan untuk seluruh umat Islam hingga akhir zaman.
Inti dari Surat Al-Kahfi ayat 24 adalah larangan keras untuk menyatakan niat melakukan suatu pekerjaan di masa depan tanpa menyertakan kalimat "Insya Allah" (Jika Allah menghendaki). Larangan ini bukan sekadar etiket berbahasa, melainkan sebuah penegasan mendasar tentang kelemahan mutlak manusia di hadapan kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
Mengucapkan "Insya Allah" adalah pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berada di bawah kendali penuh Sang Pencipta. Ketika seseorang merencanakan sesuatu—baik itu hal besar seperti membangun usaha atau hal kecil seperti menyelesaikan tugas—ia mungkin memiliki semua sumber daya, waktu, dan kemampuan fisik. Namun, tanpa izin dan kehendak Allah, semua rencana tersebut bisa batal seketika.
Dalam tafsir klasik, para ulama menjelaskan bahwa seseorang yang berjanji akan melakukan sesuatu di masa depan tanpa menyertakan "Insya Allah" dikhawatirkan termasuk dalam golongan yang menyandarkan hasil pada usahanya sendiri, sebuah bentuk kesyirikan kecil (riya' atau ujub) karena melupakan faktor Ilahi. Jika terjadi kegagalan, ia akan merasa sangat kecewa karena merasa usahanya telah maksimal, padahal ia lupa siapa yang menggerakkan usahanya tersebut.
Secara psikologis, pembiasaan diri mengucapkan "Insya Allah" membawa ketenangan. Ia melepaskan beban ekspektasi yang terlalu tinggi dari pundak manusia. Jika rencana berhasil, ia bersyukur kepada Allah. Jika rencana meleset, ia menerimanya dengan lapang dada karena ia sadar bahwa keputusan akhir ada di tangan Yang Maha Kuasa. Ini adalah bentuk tawakkal yang benar dalam konteks perencanaan harian.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari Surat Al-Kahfi ayat 24 ini mencakup beberapa aspek penting:
Beberapa mufassir menghubungkan turunnya ayat ini dengan kisah para pemuda Ashabul Kahfi (pemilik gua) yang bersembunyi dari kaum yang menyembah berhala. Ketika mereka memutuskan untuk tidur di gua, mereka berencana untuk melanjutkan perbincangan atau keputusan mereka di hari berikutnya. Meskipun teks ayat tidak secara eksplisit menyebutkan ucapan mereka, konteksnya menyiratkan bahwa ketika membahas rencana masa depan, hendaknya selalu disertai dengan memohon izin Allah.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan amal tidak hanya terletak pada kualitas perbuatan itu sendiri, tetapi juga pada kesempurnaan niat dan cara kita menyampaikannya kepada Allah. Dalam menghadapi tantangan dunia modern yang menuntut perencanaan jangka panjang dan ketepatan waktu, pengingat spiritual dari Al-Kahfi ayat 24 ini menjadi relevan untuk menyeimbangkan ambisi duniawi dengan kesadaran akhirat.