Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an yang sarat akan pelajaran spiritual dan historis. Ayat 25 hingga 30 secara khusus membahas periode tidur panjang Ashabul Kahfi (pemuda gua) dan memberikan landasan penting mengenai kekuasaan Allah SWT, batasan ilmu manusia, serta pentingnya beramal saleh sambil senantiasa berpegang pada tauhid.
Ayat-ayat ini menjadi pengingat bahwa apa yang kita anggap lama atau sebentar di dunia ini hanyalah perspektif terbatas dibandingkan dengan kekuasaan dan waktu mutlak milik Allah SWT. Memahami ayat-ayat ini membantu seorang mukmin dalam menghadapi ujian kehidupan dengan ketenangan dan keyakinan penuh.
Ayat 25 menginformasikan bahwa pemuda Ashabul Kahfi tertidur selama 300 tahun ditambah 9 tahun. Angka ini, meski tampak lama bagi manusia, adalah waktu yang sangat singkat bagi kekuasaan Allah SWT yang Maha Mampu. Hal ini menjadi penekanan awal bahwa dimensi waktu di sisi Allah berbeda dengan di bumi.
Ayat 26 melanjutkan dengan menegaskan keagungan ilmu Allah. Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan, "Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lalui." Ini mengajarkan prinsip penting: dalam hal gaib (hal yang tersembunyi) dan hakikat waktu, ilmu manusia terbatas, sementara ilmu Allah meliputi segalanya. Penglihatan dan pendengaran Allah sempurna, dan tidak ada satu pun entitas yang dapat menyekutui-Nya dalam menentukan hukum dan takdir.
Selanjutnya, ayat 27 mengingatkan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur'an. Perintah untuk "membacakan apa yang diwahyukan" adalah inti dari tugas kenabian. Kitab Allah adalah kebenaran absolut yang tidak dapat diubah. Ketika manusia menghadapi ketidakpastian dan godaan dunia, Al-Qur'an menjadi satu-satunya tempat berlindung yang hakiki (multahad).
Salah satu pelajaran paling praktis datang pada ayat 28. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk bersabar bersama orang-orang yang beribadah di pagi dan petang hari, yaitu mereka yang tulus mencari keridhaan Allah. Pesan ini sangat relevan bagi umat Islam yang hidup di tengah arus duniawi yang cenderung melupakan Tuhan. Kualitas iman seseorang seringkali ditentukan oleh kualitas lingkar pertemanan dan lingkungan ibadahnya.
Peringatan untuk tidak menuruti godaan duniawi (perhiasan kehidupan) dan menjauhi orang yang lalai dari zikir Allah adalah sebuah filter spiritual. Mencari keridhaan Allah harus menjadi prioritas utama, mengalahkan keinginan untuk kemewahan sesaat. Kehidupan yang hanya mengikuti hawa nafsu tanpa mengingat Allah adalah kehidupan yang melewati batas (furuth) dan pasti akan berakhir buruk.
Ayat 29 menegaskan otoritas kebenaran: Kebenaran datang dari Tuhan. Di sini, manusia diberi pilihan bebas—iman atau kufur. Namun, pilihan ini memiliki konsekuensi yang jelas. Bagi orang-orang zalim (yang memilih kufur), neraka telah disiapkan; api yang mengepung mereka adalah tempat terburuk, dan minuman mereka adalah air mendidih yang menyiksa. Ini adalah gambaran tegas mengenai balasan bagi mereka yang menolak petunjuk Ilahi.
Sebaliknya, ayat penutup dari rangkaian ini, yaitu ayat 30, memberikan janji yang menenangkan dan memotivasi: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalnya dengan baik." Ini adalah fondasi harapan. Amal saleh yang dilakukan dengan keimanan yang benar akan dihargai sempurna oleh Allah SWT. Kualitas amal lebih penting daripada kuantitas, dan Allah adalah Maha Adil dalam memberikan balasan.
Dengan merenungkan Surat Al-Kahfi ayat 25 hingga 30, seorang muslim diingatkan untuk fokus pada kebenaran abadi, membatasi ketergantungan pada ilmu duniawi, memilih teman yang saleh, serta yakin sepenuhnya bahwa kesabaran dan amal baik yang didasari iman akan mendapatkan ganjaran terbaik di sisi Allah.