Surat Al-Kahfi Ayat 4 dan 5: Pesan Keabadian dan Peringatan

Petunjuk di Tengah Kegelapan Ilustrasi simbolis cahaya petunjuk Al-Qur'an di tengah dua jalur kontras.

Surat Al-Kahfi (gua) adalah salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat. Di dalamnya terkandung banyak pelajaran hidup, kisah teladan, dan peringatan penting. Dua ayat pertama setelah pembukaan, yaitu ayat 4 dan 5, secara tegas menetapkan tujuan utama Al-Qur'an dan konsekuensi bagi mereka yang lalai.

Teks dan Terjemahan Ayat 4 dan 5

وَیُنْذِرَ ٱلَّذِیْنَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًۭا
Wa yunżiral-ladhīna qāluttakhathallāhu waladan.
4. Dan untuk memperingatkan mereka yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍۢ وَلَا لِآبَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةًۭ تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًۭا
Mā lahum bihi min ‘ilminw-walā li-ābā’ihim, kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim, in yaqūlūna illā kadzibā.
5. Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, demikian pula nenek moyang mereka. Sungguh besar (kebohongan) perkataan yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan melainkan dusta.

Makna Mendalam Ayat 4: Peringatan Terhadap Syirik Akidah

Ayat 4 secara spesifik menyoroti salah satu dosa terbesar dalam Islam, yaitu syirik, khususnya dalam bentuk meyakini bahwa Allah SWT memiliki anak. Allah menurunkan Al-Qur'an tidak hanya sebagai rahmat dan petunjuk bagi orang yang beriman, tetapi juga sebagai alat peringatan keras (yunziru) bagi mereka yang menyimpang dari kebenaran akidah.

Peringatan ini ditujukan kepada beberapa kelompok sepanjang sejarah, termasuk kaum musyrikin Mekkah yang menganggap dewa-dewi sebagai anak Allah, serta kelompok tertentu dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memiliki klaim serupa tentang para nabi mereka. Inti dari peringatan ini adalah untuk meluruskan konsep tauhid—keesaan Allah—yang merupakan fondasi utama ajaran Islam.

Analisis Ayat 5: Kebohongan yang Mengguncang Kebenaran

Ayat kelima memberikan bantahan tegas dan logis terhadap klaim yang disebutkan di ayat sebelumnya. Allah menegaskan bahwa klaim tersebut didasarkan pada ketiadaan pengetahuan (min 'ilmin) baik bagi yang mengatakannya maupun bagi nenek moyang mereka. Ini menunjukkan bahwa keyakinan tersebut murni berdasarkan tradisi buta atau hawa nafsu, bukan berdasarkan wahyu atau akal sehat.

Frasa "kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim" (Sungguh besar kebohongan perkataan yang keluar dari mulut mereka) menekankan betapa seriusnya tuduhan tersebut di mata Allah. Menyematkan sifat manusiawi (memiliki keturunan) kepada Al-Khaliq (Sang Pencipta) adalah sebuah pengucapan yang sangat tercela dan melampaui batas kesopanan dalam beragama.

Kesimpulan ayat ini sangat lugas: "mereka tidak mengatakan melainkan dusta." Allah menghilangkan segala kemungkinan adanya pembenaran rasional atau historis atas klaim tersebut; itu adalah kebohongan murni.

Korelasi Ayat 4 dan 5 dengan Tujuan Al-Qur'an

Dua ayat ini menjadi penanda bahwa salah satu fungsi utama Al-Qur'an adalah sebagai pembeda yang jelas antara kebenaran mutlak (Tauhid) dan kebatilan absolut (Syirik). Jika Al-Qur'an hanya berisi pujian dan kisah tanpa peringatan terhadap kesesatan fundamental seperti ini, maka fungsinya sebagai petunjuk akan menjadi tidak lengkap.

Bagi pembaca Surat Al-Kahfi, ayat 4 dan 5 mengingatkan kita untuk selalu menguji keyakinan kita. Apakah pondasi iman kita dibangun di atas dalil yang jelas (wahyu dan akal yang sehat) ataukah kita mengikuti klaim-klaim besar yang tidak memiliki bukti dan hanya diwariskan secara turun-temurun tanpa telaah?

Ayat-ayat ini mendorong umat Islam untuk memegang teguh kemurnian akidah. Kebohongan terbesar sering kali datang dalam bentuk klaim yang diyakini oleh banyak orang atau yang diwariskan secara turun-temurun. Surat Al-Kahfi, melalui ayat-ayat ini, menegaskan bahwa ukuran kebenaran bukanlah popularitas atau tradisi, melainkan kebenaran yang diturunkan oleh Sang Pencipta alam semesta.

🏠 Homepage