Surat Al-Kahfi menyimpan banyak sekali pelajaran berharga, dan bagian antara surat al kahfi ayat 61 70 adalah salah satu titik balik penting dalam kisah Nabi Musa AS bertemu dengan hamba Allah yang saleh, yaitu Khidir AS. Ayat-ayat ini menyoroti keterbatasan ilmu pengetahuan manusia, bahkan bagi seorang nabi sekelas Musa.
Ayat-ayat ini diawali dengan pencarian Musa, yang rela menempuh perjalanan panjang hingga ia lupa membawa bekalnya atau kehilangan arah di tempat bertemunya dua lautan. Perjalanan ini melambangkan usaha keras mencari kebenaran dan kebijaksanaan yang hakiki, yang seringkali melampaui batas pemahaman rasional kita sehari-hari.
Ilustrasi simbolis pertemuan dua batas ilmu.
Pelajaran utama dari rentang surat al kahfi ayat 61 70 adalah tentang pentingnya kesabaran dan penyerahan diri pada kehendak serta ilmu Allah SWT. Ketika Musa merasa tidak sabar dan ingin segera mengetahui hikmah di balik setiap tindakan Khidir—mulai dari merusak perahu, membunuh seorang pemuda, hingga memperbaiki dinding yang hampir roboh—Khidir mengingatkannya dengan tegas.
Puncak dari teguran Khidir terdapat dalam ayat-ayat yang menjelaskan mengapa Musa tidak seharusnya memaksakan pemahamannya. Mari kita lihat kutipan penting dari rentang ayat tersebut:
Meskipun ayat 70 adalah titik akhir sebelum penjelasan detail, ayat-ayat sebelumnya (61-69) telah membangun premis bahwa ilmu yang dimiliki manusia sangatlah terbatas. Musa, yang diyakini memiliki pengetahuan luas, mengakui kekalahannya di hadapan ilmu Khidir. Hal ini mengajarkan kita bahwa ilmu Allah SWT Maha Luas, dan terkadang, peristiwa yang tampak buruk di mata kita mengandung kebaikan tersembunyi atau hikmah yang baru terungkap di kemudian hari.
Dalam konteks surat al kahfi ayat 61 70, kita diajarkan untuk menahan diri dari menghakimi suatu keadaan sebelum kita memahami keseluruhan konteksnya. Kerusakan perahu adalah perlindungan dari raja zalim. Kematian pemuda adalah penyelamatan dari kedua orang tua yang beriman agar tidak terjerumus dalam kekafiran. Sementara itu, dinding yang diperbaiki adalah wujud amal jariyah Khidir untuk dua anak yatim.
Kisah Musa dan Khidir ini memiliki relevansi kuat bagi umat Islam kontemporer. Dalam menghadapi ujian hidup yang sulit dipahami—misalnya, kehilangan pekerjaan, penyakit yang tak kunjung sembuh, atau ketidakadilan—kita sering kali bereaksi seperti Musa, menuntut jawaban instan dan penjelasan logis.
Namun, pesan yang dibawa oleh surat al kahfi ayat 61 70 adalah ajakan untuk memupuk kesabaran (sabr) dan keyakinan (tawakkal). Tidak semua takdir harus kita pahami saat itu juga. Kadang, Allah menahan jawaban agar kita terus mendekat kepada-Nya melalui proses pencarian dan penyerahan diri.
Memahami ayat-ayat ini membantu kita menyadari bahwa ada dimensi spiritual dan ilahi yang berada di luar jangkauan analisis rasional kita. Keimanan kita harus cukup kuat untuk menerima bahwa di balik kesulitan, pasti ada rahasia kebaikan yang telah Allah rencanakan, sebagaimana Khidir telah menunjukkan takwil di balik tindakannya.
Oleh karena itu, perenungan mendalam terhadap surat al kahfi ayat 61 70 menjadi pengingat bahwa kebijaksanaan sejati datang dari kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri dan keagungan ilmu Sang Pencipta.