Surat Al-Kahfi, atau "Gua", adalah salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat. Di dalamnya terkandung empat kisah besar yang sarat hikmah, yaitu kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa bersama Khidir, dan kisah Dzulqarnain. Bagian ayat 61 hingga 80 berfokus pada perjalanan spiritual dan pertemuan penuh misteri antara Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang bijaksana, yang dikenal sebagai Khidir.
Kisah ini memberikan pelajaran mendalam tentang batasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir yang belum terungkap, serta pemahaman bahwa kebijaksanaan Allah seringkali melampaui logika dan pemahaman manusia biasa. Musa AS, seorang Nabi yang diberi keistimewaan mukjizat, harus belajar untuk tunduk pada hikmah yang hanya diketahui oleh Khidir.
Ayat-ayat pembuka ini menceritakan ketika Musa berkata kepada muridnya, Yusya' bin Nun, bahwa mereka akan terus berjalan hingga mencapai tempat bertemunya dua lautan, atau mereka berjalan selama bertahun-tahun. Di titik pertemuan inilah mereka mencari sosok yang disebut sebagai hamba Allah yang saleh.
Maka tatkala mereka sampai di tempat pertemuan kedua laut itu, mereka lupa akan ikan mereka, lalu ikan itu melompat ke laut dan terlepaslah ia. (61)
Setelah mereka berpindah tempat, Musa berkata kepada muridnya: "Bawalah kepadaku makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." (62) Ia (Yusya') menjawab: "Tahukah kamu, ketika kita berlindung di batu besar, sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu? Dan tidak ada yang membuat aku lupa akan hal itu kecuali syaitan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang ajaib." (63) Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari!" Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (64)
Ketika mereka bertemu Khidir, Musa meminta izin untuk mengikutinya agar diajari ilmu yang benar. Khidir memberikan syarat berat: Musa tidak boleh menanyakan apa pun sampai Khidir sendiri yang menjelaskannya. Syarat ini menunjukkan bahwa ilmu hakiki memerlukan ketundukan total.
Maka berjalanlah keduanya sehingga tatkala mereka menaiki perahu, Khidir melubanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi perahu itu? Apakah kamu bermaksud menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang amat ganjil (atau besar/mungkar)!" (71)
Khidir menjawab: "Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat bersabar (menemaniku)?" (72) Musa berkata: "Janganlah kamu menghukumku karena kelalaianku dan janganlah kamu membebaniku dengan urusan yang sulit bagiku." (73)
Peristiwa paling mengejutkan adalah ketika Khidir membunuh seorang anak muda yang tidak berdosa. Ini benar-benar melampaui batas kesabaran Musa, yang kemudian langsung mengingkari janji kesabarannya.
Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami khawatir bahwa (kedurhakaannya) akan membebani kedua orang tuanya (dengan kesusahan dan) kekafiran. (80)
Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu; sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur (alasan) kepadaku." (74)
Kemudian keduanya berjalan sehingga tatkala mereka sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta makanan kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. (77) Dan di sana mereka mendapati dinding yang hampir roboh, lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa berkata: "Jika kamu mau, tentulah kamu dapat meminta upah untuk itu." (78)
Khidir menjawab: "Inilah perpisahan antara aku dan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu takbir (hakikat) dari apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya." (79)
Inti dari bagian ini adalah pemahaman bahwa ilmu yang dimiliki Khidir adalah ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah) yang bertujuan untuk menjaga kebaikan orang tua anak tersebut dari kesesatan di masa depan. Tindakan yang tampak kejam (membunuh anak) ternyata merupakan rahmat tersembunyi.
Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat menghakimi peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Seringkali, apa yang terlihat sebagai keburukan atau kesulitan adalah jalan Allah untuk mencegah keburukan yang lebih besar atau menyiapkan kebaikan yang tak terduga. Musa AS, meskipun seorang Nabi yang cerdas, tetap harus mengakui keterbatasan pengetahuannya dan tunduk pada kebijaksanaan Ilahi yang diwujudkan melalui Khidir. Ini adalah pengingat bahwa iman sejati melibatkan penerimaan penuh terhadap rencana Allah, bahkan ketika rencana itu tersembunyi dari pandangan kita.