Ilustrasi konsep kebijaksanaan dan petunjuk.
Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat agung dalam Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran hidup, terutama terkait ujian (fitnah) dunia. Di antara ayat-ayat penting dalam surat ini, ayat ke-69 seringkali menjadi sorotan karena mengandung perintah langsung dari Allah SWT kepada Nabi Musa AS mengenai pentingnya kesabaran dalam mencari ilmu.
Ayat ini merupakan respons Nabi Musa kepada Khidir AS setelah Khidir memberikan syarat tegas: Musa tidak boleh bertanya tentang tindakan apa pun yang dilakukan Khidir, kecuali setelah Khidir sendiri yang menjelaskannya. Syarat ini sangat berat bagi seorang Nabi yang penuh rasa ingin tahu dan memiliki tanggung jawab besar sebagai pembawa syariat, namun Musa menunjukkan kepatuhan luar biasa.
Kisah Musa dan Khidir (disebutkan dalam Al Kahfi ayat 60 hingga 82) adalah narasi tentang pencarian ilmu ladunni (ilmu langsung dari sisi Allah) yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa, meskipun beliau adalah seorang rasul yang sangat berilmu. Pertemuan ini mengajarkan bahwa pengetahuan manusia itu terbatas, dan ada kebijaksanaan ilahiah yang melampaui logika akal biasa.
Ketika Khidir menetapkan syarat, Musa menyadari bahwa untuk mendapatkan kedalaman ilmu tersebut, diperlukan tingkat kesabaran dan kepatuhan yang sangat tinggi. Ayat 69 menjadi janji suci Musa. Kata kunci di sini adalah "Insya Allah" (Jika Allah menghendaki), yang menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kekuatan untuk bersabar itu datang dari pertolongan Allah semata.
Surat Al Kahfi ayat 69 bukan hanya kisah masa lalu, tetapi panduan praktis bagi umat Islam hingga akhir zaman. Ada beberapa poin penting yang dapat kita tarik:
Mendapatkan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi yang bermanfaat, seringkali memerlukan proses yang panjang, ujian, dan kegagalan. Kesabaran (Ash-Shabr) adalah fondasi utama. Tanpa kesabaran, seseorang akan mudah menyerah ketika menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan pemahaman awalnya.
Musa tidak hanya berjanji dengan kekuatannya sendiri. Ia mengaitkannya dengan kehendak Allah. Ini mengajarkan kita untuk selalu memulai usaha dengan niat yang benar dan diakhiri dengan tawakal. Kita berusaha sekuat tenaga, namun hasil dan kemampuan untuk bertahan dalam proses adalah karunia Allah.
Syarat "Aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun" menunjukkan pentingnya ketaatan (ith'ah) kepada seorang guru sejati, terutama dalam konteks pembelajaran spiritual. Kepatuhan ini bukan berarti buta, melainkan kesiapan untuk menerima hikmah di balik tindakan yang mungkin pada awalnya tampak keliru atau aneh di mata logika kita.
Kisah ini menegaskan bahwa di balik setiap kejadian ada hikmah yang tersembunyi (seperti yang dijelaskan Khidir kemudian). Ketika kita bersabar dan tidak terburu-buru menghakimi, Allah akan membuka tabir hikmah tersebut, sebagaimana Allah membuka pemahaman Musa pada akhirnya.
Di zaman informasi serba cepat saat ini, di mana segala sesuatu tersedia seketika (instant gratification), pesan dalam Surat Al Kahfi ayat 69 menjadi sangat relevan. Kita hidup di tengah "fitnah" kecepatan dan kemudahan yang seringkali menggoda kita untuk meninggalkan proses mendalam. Ayat ini mengajak kita untuk memperlambat langkah, menguatkan kesabaran, dan mengakui bahwa ilmu hakiki memerlukan disiplin tinggi dan bimbingan yang tulus.
Dengan merenungkan ayat ini, seorang pencari kebenaran diingatkan bahwa jalan menuju kebijaksanaan sejati adalah jalan yang dihiasi oleh ujian kesabaran. Ketaatan pada proses, diiringi dengan kerendahan hati, adalah kunci untuk membuka pintu ilmu yang lebih luas, sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa alaihissalam.
Oleh karena itu, mengamalkan semangat Surat Al Kahfi ayat 69 berarti mempersiapkan jiwa untuk menjadi wadah yang mampu menampung hikmah ilahi, terlepas dari seberapa sulit atau membingungkan ujian yang harus dihadapi di sepanjang jalan pencarian.