Kisah Nabi Musa AS bersama hamba Allah yang shalih, Khidir AS, yang terdapat dalam Surat Al-Kahfi adalah salah satu narasi paling kaya akan pelajaran hidup. Ayat 76 hingga 80 merupakan bagian krusial dari kisah tersebut, di mana keteguhan Musa diuji oleh perpisahan dengan Khidir setelah peristiwa perahu yang dilubangi.
Konteks Ayat 76-80
Setelah Musa bersabar menyaksikan tiga perbuatan Khidir—melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh tanpa meminta imbalan—ia akhirnya menyerah pada batas kesabarannya dan meminta perpisahan. Pada titik inilah Khidir memberikan penjelasan rinci mengenai hikmah di balik setiap tindakannya.
“Berkata Musa kepadanya (Khidir): 'Inilah perpisahan antara aku dan engkau; maka beritahukanlah kepadaku apa yang kamu telah perbuat'.” (QS. Al-Kahfi: 77)
Ayat 77 menandai klimaks dari interaksi mereka. Musa mengakui bahwa ia telah melampaui batas dalam meminta penjelasan, menunjukkan kerendahan hatinya setelah mengakui ketidaksabarannya. Namun, permintaan perpisahan ini juga disertai dengan harapan untuk mendapatkan pemahaman penuh atas hikmah tersembunyi.
Pelajaran dari Tindakan Khidir (Ayat 78-80)
Bagian terpenting dalam rentang ayat ini adalah penjelasan Khidir mengenai dua peristiwa yang paling menguji kesabaran Musa: perahu dan anak laki-laki.
1. Mengenai Perahu (Ayat 78)
“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut; maka aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) dengan paksa.” (QS. Al-Kahfi: 78)
Khidir menjelaskan bahwa tindakan melubangi perahu bukanlah niat merusaknya secara permanen, melainkan sebuah strategi perlindungan. Dengan membuat perahu tampak rusak, raja yang zalim—yang suka merampas kapal bagus—akan meninggalkannya. Kerusakan kecil ini mencegah kehilangan harta yang jauh lebih besar dan merupakan rahmat Allah bagi pemiliknya yang miskin.
2. Mengenai Anak Laki-laki (Ayat 79)
“Adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa ia akan memaksa kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Maka Tuhan menghendaki agar Tuhan mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dan lebih dekat kasih sayangnya.” (QS. Al-Kahfi: 79-80)
Ayat 79 dan 80 menjelaskan kematian anak tersebut. Khidir mengetahui bahwa meskipun kedua orang tua anak itu saleh, anak tersebut kelak akan menjadi sumber fitnah dan kekafiran bagi mereka. Kematian dini adalah bentuk perlindungan ilahi. Allah menggantikannya dengan keturunan yang lebih baik, baik dalam hal kesalehan ('kesuciannya') maupun dalam hal berbakti dan mencintai orang tua ('lebih dekat kasih sayangnya').
Implikasi Filosofis dan Spiritual
Kisah Nabi Musa dan Khidir, khususnya melalui pemahaman ayat 76-80, mengajarkan beberapa prinsip mendasar bagi seorang pencari kebenaran:
- Batasan Ilmu Manusia: Musa, seorang nabi besar, mengakui keterbatasan ilmunya. Ini mengingatkan kita bahwa perspektif manusia sering kali parsial dan terbatas pada hasil akhir yang terlihat, bukan pada proses dan hikmah di baliknya.
- Rahasia di Balik Musibah: Peristiwa yang tampak buruk (perahu dilubangi, kematian anak) ternyata adalah mekanisme perlindungan dan rahmat tersembunyi dari Allah SWT. Musibah seringkali merupakan jalan menuju kebaikan yang tidak kita sadari pada saat itu.
- Pentingnya Kesabaran dalam Menuntut Ilmu: Musa harus belajar menahan diri dan mempercayai otoritas ilmu yang lebih tinggi (Khidir) sebelum diberikan penjelasan. Kesabaran adalah prasyarat untuk mendapatkan hikmah sejati.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa di balik setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, terdapat rancangan Ilahi yang sempurna. Tugas kita bukanlah untuk selalu memahami setiap detail, melainkan untuk memiliki iman yang kuat bahwa Allah merencanakan yang terbaik bagi hamba-Nya yang berserah diri.