Kisah Musa dan Khidr: Pelajaran dari Al-Kahfi (81-90)

💡

Ilustrasi: Penjagaan dan Kebijaksanaan Ilmu

Surat Al-Kahfi merupakan mercusuar dalam Al-Qur'an yang sarat dengan pelajaran hidup, salah satunya melalui kisah pertemuan antara Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Khidr. Bagian akhir dari kisah ini, terutama pada ayat 81 hingga 90, menawarkan pemahaman mendalam tentang batas pengetahuan manusia dan keutamaan ilmu yang dianugerahkan Allah SWT.

Memahami Hikmah di Balik Tindakan

Ayat-ayat ini menjadi klimaks dalam pelajaran tentang kerendahan hati dan penerimaan terhadap takdir serta ilmu Allah yang Maha Luas. Ketika Musa dan Khidr berpisah, Musa mengakui ketidaktahuannya dan memohon izin untuk mengikuti Khidr lebih lanjut. Permintaan ini dijawab dengan penegasan bahwa ilmu yang dimiliki Khidr berasal langsung dari sisi Allah, suatu ilmu yang tidak mungkin dijangkau oleh pemahaman manusia biasa.

وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81)
"Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir dia akan membebani keduanya dengan kedurhakaan dan kekafiran. Maka kami menghendaki bahwa Tuhan mereka akan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya dalam kesucian dan lebih dekat hubungannya (dengan rahmat)." (QS. Al-Kahfi: 80-81)

Ayat 81 secara eksplisit menjelaskan alasan di balik tindakan Khidr membunuh anak tersebut. Ini bukan semata-mata hukuman, melainkan sebuah intervensi ilahiah untuk melindungi orang tua anak tersebut dari godaan kesesatan di masa depan. Pelajaran utama di sini adalah bahwa terkadang, apa yang tampak sebagai bencana atau kerugian di mata manusia adalah sebuah rahmat dan perlindungan dari Allah SWT. Kesabaran Nabi Musa diuji, dan di sinilah batas epistemologi manusia (ilmu yang bisa dicapai) bertemu dengan ilmu ladunni (ilmu langsung dari Tuhan).

Pembangunan Kembali dan Penganugerahan Ilmu

Setelah peristiwa anak terbunuh, kisah berlanjut ke peristiwa pembangunan kembali tembok yang hampir roboh di sebuah kota. Di sini, Khidr bertindak tanpa meminta imbalan materi. Tawaran Musa untuk memberikan upah ditolak oleh Khidr, yang menegaskan kembali bahwa tugasnya adalah murni karena Allah.

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ مَخْصُوصَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا (82)
"Adapun tembok itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat simpanan harta bagi mereka berdua; dan ayahnya adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanan hartanya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya atas kemauanku sendiri. Itulah makna dari apa yang kamu tidak sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat 82 memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat rahmat Allah. Keputusan Khidr membangun kembali tembok adalah manifestasi dari kasih sayang ilahi yang menjaga hak milik dua anak yatim hingga mereka cukup umur untuk mengurusnya sendiri. Ini mengajarkan bahwa integritas dan kesalehan para leluhur terkadang menjadi sebab terpeliharanya berkah bagi keturunan mereka, sebuah janji Allah yang ditepati.

Klimaks Perpisahan dan Kewenangan Ilmu

Bagian akhir dari perjumpaan ini, menjelang ayat 88 hingga 90, menegaskan kembali perbedaan mendasar antara pengetahuan manusiawi dan pengetahuan wahyu. Musa akhirnya menyadari bahwa ia belum sanggup bersabar menghadapi hikmah yang melampaui logika akalnya.

حَتَّى إِذَا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَباً (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63)
*(Catatan: Ayat 61-63 disajikan sebagai pengingat pentingnya kesabaran dalam mencari ilmu yang kemudian diulas kembali pada akhir perpisahan mereka di ayat 88-90)*

Ketika saatnya tiba untuk berpisah, Khidr berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberitahumu makna dari apa yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya."

قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا (78)
"Inilah perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberitahukan kepadamu takwil (arti sebenarnya) dari apa yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 78)

Pelajaran terbesar yang dapat dipetik dari surat al kahfi ayat 81 90 adalah urgensi untuk selalu menisbatkan segala kejadian, baik yang kita pahami maupun yang tidak, kepada kehendak dan hikmah Allah. Ilmu manusia terbatas, dan kesabaran adalah kunci untuk menerima rencana Ilahi yang mungkin tersembunyi di balik peristiwa yang tampak buruk. Kisah ini mengajarkan kerendahan hati intelektual seorang Nabi besar, yang menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dalam menghadapi misteri kehidupan.

Dengan demikian, ayat-ayat ini mengukuhkan bahwa di balik setiap peristiwa terdapat dimensi kebijaksanaan yang hanya dapat diakses melalui ilmu ladunni dan kesabaran yang murni.

🏠 Homepage