Dalam Al-Qur'an, kisah Ashabul Kahfi (pemuda penghuni gua) adalah salah satu narasi paling inspiratif yang menceritakan tentang keteguhan iman di tengah kekacauan sosial. Perjalanan mereka berakhir dengan sebuah titik temu penting yang diabadikan dalam firman Allah SWT, salah satunya adalah Surat Al-Kahfi Ayat 86. Ayat ini sering kali menjadi fokus perenungan karena menggambarkan upaya luar biasa yang dilakukan oleh Dzulkarnain, sosok yang diberi kemampuan untuk berkelana ke ujung timur dan barat bumi.
Ayat ini secara spesifik menjelaskan tujuan perjalanan fisik yang dilakukan oleh Dzulkarnain untuk mencari batas akhir pergerakan matahari:
Ayat 86 ini melanjutkan kisah petualangan Dzulkarnain. Setelah sebelumnya dikisahkan perjalanannya ke ufuk timur, kini ia bergerak menuju ufuk barat. Tujuan utamanya bukan sekadar penjelajahan geografis, melainkan sebuah manifestasi kekuasaan Allah yang menunjukkan batasan fisik alam semesta, atau setidaknya batas yang dapat dijangkau oleh manusia.
Deskripsi "ia melihat matahari terbenam di (sebuah) mata air yang keruh ('ainin hamiatin)" telah memicu berbagai interpretasi di kalangan mufasir. Sebagian ulama menafsirkan ini secara harfiah, bahwa Dzulkarnain benar-benar menyaksikan matahari seolah-olah tenggelam ke dalam genangan air berlumpur atau air yang sangat gelap warnanya. Ini menunjukkan bahwa pandangan mata manusia terbatas oleh perspektifnya di Bumi; dari sudut pandang daratan yang dicapainya, pemandangan itu tampak demikian.
Aspek paling krusial dari surat al kahfi ayat 86 terletak pada respons Ilahi yang diterima Dzulkarnain setelah ia mencapai batas tersebut. Di sana, ia menemukan sekelompok manusia. Allah SWT memberikan pilihan otoritatif kepadanya:
Pilihan ini menegaskan bahwa kekuasaan yang dianugerahkan Allah kepada Dzulkarnain bukanlah kekuasaan mutlak tanpa etika. Kekuasaan harus selalu dibarengi dengan kebijaksanaan dan pertimbangan maslahat. Ia didorong untuk memilih jalan yang paling mendekatkan kaum tersebut kepada keadilan dan kebenaran.
Meskipun ayat ini menceritakan kisah seorang pemimpin besar, pelajaran yang didapat bersifat universal. Perjalanan Dzulkarnain ke barat, sama seperti ke timur, adalah simbol perjalanan spiritual manusia mencari kebenaran hakiki (tauhid). Ketika kita mencapai "batas pandangan" kita, yakni titik di mana ilmu pengetahuan atau pemahaman kita terasa mentok (seperti melihat matahari tenggelam di air keruh), saat itulah kita membutuhkan bimbingan langsung dari Ilahi.
Pilihan antara "menghukum" atau "berbuat baik" mengingatkan kita bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain, terutama mereka yang berbeda pandangan atau mungkin tersesat, kita harus selalu menimbang: apakah pendekatan yang keras akan membawa manfaat, ataukah pendekatan yang lembut dan edukatif lebih utama? Surat Al-Kahfi ayat 86 mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang berlandaskan rahmat, meskipun disiplin (hukuman) tetap menjadi salah satu opsi yang diizinkan dalam kondisi tertentu.
Kisah ini mengajarkan kita untuk terus bergerak, menghadapi batas kemampuan kita, dan ketika kekuasaan atau otoritas (sekecil apa pun) berada di tangan kita, senantiasa memohon petunjuk agar pilihan yang diambil selalu mengarah pada kebaikan terbesar bagi sesama manusia.