Surat Al-Kahfi, yang berarti 'Gua', adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT. Surat ini kaya akan pelajaran moral dan spiritual yang relevan hingga akhir zaman. Di dalamnya terkandung empat kisah utama: Ashabul Kahfi (pemuda Ashabul Kahfi), pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidr, serta kisah Dzulkarnain.
Namun, di tengah narasi besar tersebut, terdapat ayat-ayat kunci yang berfungsi sebagai penegasan prinsip utama. Salah satu ayat yang sering menjadi sorotan para mufassir dan penuntut ilmu adalah Surat Al-Kahfi Ayat 88. Ayat ini secara langsung membahas tentang janji balasan bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
وَأَمَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
"Wa ammā man āmana wa 'amila ṣāliḥan fa-lahū jazā’an al-ḥusnā, wa sanaqūlu lahu min amrinā yusrā."
Terjemahan: "Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya adalah pahala yang terbaik (surga), dan Kami akan mengatakan kepadanya perkataan yang mudah (mudah dalam segala urusan)."
Ayat 88 ini membagi nasib manusia menjadi dua kategori yang jelas, kontras dengan ayat sebelumnya (ayat 87 yang membahas balasan bagi yang menolak kebenaran). Ayat ini memberikan harapan sekaligus tuntunan bagi orang-orang yang beriman. Ada dua pilar utama dalam janji Allah SWT di sini: Jazā'an al-Husna (balasan terbaik) dan Amrin Yusra (kemudahan dalam urusan).
Ungkapan "al-Husna" merujuk pada kebaikan yang paling sempurna dan tertinggi, yaitu balasan surga firdaus. Ini bukan sekadar balasan yang setara dengan amal perbuatan, melainkan balasan yang jauh melampaui perhitungan manusia. Syaratnya jelas: iman yang benar (tauhid dan keyakinan) serta amal saleh (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan). Iman tanpa amal dianggap tidak lengkap, sebagaimana amal tanpa iman tidak bernilai di sisi-Nya. Ini menegaskan bahwa hubungan vertikal (iman) harus tercermin dalam hubungan horizontal (amal saleh).
Komponen kedua ini sering kali diremehkan, padahal maknanya sangat luas. Allah SWT berjanji akan "mengatakan kepadanya perkataan yang mudah." Para ulama menafsirkannya dalam beberapa makna. Pertama, memudahkan proses pencabutan nyawa dan hisab di hari kiamat. Kedua, kemudahan dalam urusan duniawi; Allah SWT menjadikan jalan kehidupan orang beriman lapang dan terhindar dari kesulitan yang memberatkan jiwa. Ketika kesulitan datang, iman dan amal saleh mereka menjadi penopang yang membuat mereka menghadapinya dengan hati yang lapang dan solusi yang mudah ditemukan. Ini adalah janji ketenangan batin yang agung.
Ayat 88 ini sangat kuat konteksnya jika diletakkan setelah kisah tentang pemilik dua kebun yang sombong (ayat 32-44). Pemilik kebun tersebut beriman secara parsial—dia percaya pada hari kiamat—tetapi kesombongan dan kekagumannya pada harta membuat amalnya (seharusnya bersyukur dan bersedekah) menjadi sia-sia. Ketika hartanya musnah, ia putus asa dan menyesal, membuktikan bahwa iman dan amal salehnya dangkal.
Sebaliknya, Al-Kahfi 88 menawarkan jalan pembebasan dari kesombongan dan keputusasaan. Orang yang beriman sejati tidak akan terbuai oleh kesenangan dunia (seperti pemilik kebun), dan tidak akan jatuh dalam keputusasaan saat kehilangan dunia, karena fokusnya adalah pada al-Husna (balasan akhirat) yang pasti dan jaminan kemudahan dalam menjalani proses menuju balasan tersebut.
Pelajaran mendalam yang dapat kita ambil adalah bahwa kesuksesan sejati dalam Islam diukur bukan dari kemegahan duniawi yang sementara, melainkan dari kualitas iman dan konsistensi dalam berbuat baik. Janji kemudahan (yusra) di dunia adalah bonus dari ketaatan yang tulus, sementara janji surga adalah tujuan akhir yang pasti bagi mereka yang menjaga dua syarat utama dalam ayat ini. Membaca dan merenungkan ayat ini secara rutin menjadi pengingat vital untuk terus meniti jalan lurus, terlepas dari liku-liku ujian kehidupan modern.