Kisah dalam Surat Al-Kahfi adalah rangkaian pelajaran mendalam mengenai ujian kehidupan, keimanan, dan batas antara ilmu manusia dengan pengetahuan Ilahi. Setelah membahas kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik kebun yang sombong, dan Nabi Musa bersama Khidr, ayat 86 hingga 90 menutup segmen penting ini dengan fokus pada batasan ilmu dan takdir, khususnya melalui kisah Zulkarnain. Ayat-ayat ini mengajak kita merenungkan tujuan sejati dalam pencarian kita akan kebenaran.
(Perjalanan Zulkarnain terus berlanjut) hingga apabila ia telah sampai di tempat matahari terbenam, ia melihat matahari terbenam di dalam mata air yang berlumpur hitam, dan ia mendapati di sisinya suatu kaum. Allah berfirman, "Hai Zulkarnain, kamu boleh menghukum mereka atau kamu boleh berbuat baik kepada mereka."
Zulkarnain berkata, "Adapun orang yang zalim, maka kami akan mengazabnya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhannya akan mengazabnya dengan azab yang mengerikan."
"Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka ia akan mendapat balasan terbaik (surga), dan kami akan menyampaikan kepadanya perintah yang mudah dari kami."
Kemudian ia menempuh jalan (lain) lagi.
Hingga apabila ia telah sampai di tempat terbit matahari, ia mendapati matahari itu menyinari segolongan kaum yang Kami belum menjadikan bagi mereka pelindung dari sinarnya.
Ayat 86 hingga 90 ini menunjukkan otoritas dan kebijaksanaan luar biasa yang diberikan Allah kepada Zulkarnain, seorang penguasa yang adil. Ketika mencapai ujung barat, ia diperhadapkan pada pilihan etis yang fundamental: menghukum yang zalim atau berlaku baik kepada semua. Pilihan Zulkarnain (Ayat 87-88) menjadi teladan utama. Ia memisahkan antara hak dan batil. Bagi yang menindas, hukuman setimpal di dunia diikuti pertanggungjawaban akhirat yang berat. Namun, bagi yang beriman dan beramal saleh, balasan mereka adalah kebaikan tertinggi (surga) yang disertai kemudahan dalam urusan duniawi mereka.
Tindakan Zulkarnain menggarisbawahi prinsip universal dalam Islam: keadilan harus diterapkan tanpa memandang status, tetapi rahmat dan kemudahan harus diberikan kepada mereka yang berpegang teguh pada kebenaran dan berbuat baik. Ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejatinya adalah amanah untuk menegakkan syariat Allah, bukan sekadar memuaskan ego.
Setelah menyelesaikan urusan di barat, Zulkarnain melanjutkan perjalanan ke timur hingga mencapai tempat terbit matahari (Ayat 89-90). Penemuan tentang kaum yang hidup tanpa pelindung dari sengatan matahari adalah gambaran kontras yang mencolok. Jika di barat ia menemukan masyarakat yang membutuhkan intervensi moral dan hukum, di timur ia menemukan fenomena alam yang ekstrem, di mana manusia sepenuhnya tunduk pada hukum alam yang ditetapkan Allah tanpa adanya perisai.
Meskipun ayat-ayat ini tidak secara eksplisit memerintahkan Zulkarnain untuk melakukan tindakan korektif seperti di barat, penemuan ini menyiratkan batas pengetahuan manusia. Setiap wilayah di bumi memiliki tantangannya masing-masing, dan pengetahuan manusia, sekuat apapun Zulkarnain, selalu terbatas pada apa yang diizinkan Allah untuk ia saksikan. Perjalanan ini menegaskan bahwa di setiap sudut bumi, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah yang mendorong manusia untuk merenung tentang kebesaran Pencipta. Kisah Zulkarnain, yang dipuji karena ketakwaannya, bukanlah tentang kekuatan absolut, melainkan tentang penggunaan kekuatan yang diberikan secara bertanggung jawab di bawah bimbingan wahyu Ilahi.
Keseluruhan segmen ini (ayat 86-90) berfungsi sebagai penutup reflektif bagi pembaca Al-Kahfi, mengingatkan kita bahwa di balik setiap kisah ujian—apakah itu kekayaan, ilmu, atau kekuasaan—terdapat panggilan mendasar untuk berbuat adil, beriman, dan menyadari bahwa setiap akhir dari perjalanan duniawi akan bertemu dengan penghakiman Ilahi.