Surat Al Kahfi ayat 94 merupakan salah satu ayat kunci dalam kisah besar yang diceritakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu kisah Dzulkarnain, penguasa hebat yang berkeliling dunia, membangun peradaban, dan menghadapi tantangan besar berupa serangan kaum Yakjuj dan Makjuj. Ayat ini memberikan gambaran spesifik mengenai permintaan kaum yang lemah saat Dzulkarnain tiba di antara dua gunung.
Ayat ini menceritakan bagaimana Dzulkarnain, setelah melewati perjalanan dan menghadapi tantangan, akhirnya bertemu dengan suatu kaum yang kesulitan akibat gangguan kaum perusak.
Kisah Dzulkarnain, yang terbentang dari ayat 83 hingga 101 Surat Al Kahfi, adalah pelajaran tentang kekuasaan, keadilan, dan batas-batas pengetahuan manusia. Ketika Dzulkarnain tiba di wilayah tertentu, ia menemukan sebuah komunitas yang hidup dalam ketakutan permanen. Gangguan yang mereka alami datang dari dua kelompok agresif yang dikenal sebagai Yakjuj dan Makjuj.
Yang menarik dari surat Al Kahfi ayat 94 adalah respons kaum tersebut. Mereka tidak meminta bantuan secara gratis, melainkan menawarkan kharj (upeti atau imbalan). Hal ini menunjukkan dua hal: pertama, pengakuan mereka akan keahlian dan kekuatan Dzulkarnain; kedua, urgensi masalah yang mereka hadapi begitu besar sehingga mereka rela mengorbankan harta benda demi keamanan. Mereka meminta Dzulkarnain membangun sebuah sadd (benteng atau penghalang kokoh) yang dapat mengisolasi mereka dari kerusakan yang ditimbulkan oleh Yakjuj dan Makjuj.
Meskipun kaum tersebut menawarkan imbalan, respons Dzulkarnain dalam ayat selanjutnya (ayat 95) menunjukkan prioritas utamanya. Ia menolak tawaran harta duniawi tersebut, dan menyatakan bahwa apa yang diberikan Allah kepadanya (kekuasaan dan kemampuan) jauh lebih baik daripada upeti yang ditawarkan manusia. Ia menekankan bahwa tujuannya adalah mencari keridhaan Allah.
"Dzulkarnain berkata: 'Apa yang telah diberikan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upeti yang kamu tawarkan), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku membuatkan tembok itu di antara kalian dan mereka.'"
Pelajaran moral yang sangat kuat di sini adalah penolakan terhadap materialisme dalam menjalankan tugas keadilan dan kemaslahatan publik. Kekuatan sejati seorang pemimpin bukanlah terletak pada kekayaan yang ia kumpulkan, melainkan pada kemampuannya menggunakan anugerah ilahi untuk melayani umat.
Kisah pembangunan tembok penghalang dalam konteks surat Al Kahfi ayat 94 juga relevan karena Yakjuj dan Makjuj adalah salah satu tanda besar kiamat. Mereka digambarkan sebagai bangsa yang sangat banyak jumlahnya dan memiliki sifat merusak. Tembok yang dibangun Dzulkarnain berfungsi menunda kemunculan mereka hingga waktu yang telah ditentukan Allah SWT.
Dalam tafsir, perbedaan pendapat muncul mengenai lokasi tembok ini. Namun, fokus utama Al-Qur'an adalah pada fungsi tembok tersebut sebagai solusi sementara terhadap kerusakan masif. Kisah ini mengingatkan umat Islam bahwa ada kekuatan-kekuatan jahat yang harus dibendung dan dikelola, dan bahwa solusi akhir hanya datang dari kehendak Ilahi.
Membaca dan merenungkan surat Al Kahfi ayat 94 dan ayat-ayat sekitarnya mengajarkan kita tentang empat pilar ujian kehidupan: kekayaan (pemuda Ashabul Kahfi), ilmu pengetahuan (Nabi Musa dan Khidr), kekuasaan (Dzulkarnain), dan kelemahan iman (pemilik kebun). Kisah Dzulkarnain, yang berpusat pada ayat ini, menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan untuk membangun penghalang antara kebaikan dan kerusakan, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Setiap kali umat Muslim membaca Surat Al Kahfi, terutama pada hari Jumat, kisah ini menjadi pengingat agar kita selalu mencari kekuatan dari sumber yang benar (Allah) dan menggunakan anugerah yang diberikan untuk kepentingan kolektif, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dialog antara kaum yang memohon perlindungan dan Dzulkarnain dalam ayat ke-94 tersebut. Pemahaman mendalam atas ayat ini memperkuat fondasi spiritual untuk menghadapi ujian duniawi.