Surat Al-Lail, yang berarti "Malam," adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an. Surat ini dimulai dengan serangkaian sumpah agung yang diucapkan oleh Allah SWT untuk menegaskan kebenaran dan janji-Nya. Ayat 1 hingga 10 secara spesifik membahas tentang siang dan malam, serta bagaimana tindakan manusia—baik atau buruk—akan menentukan balasan yang mereka terima.
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
(1) Demi malam apabila ia menyelimuti (siang),
وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
(2) dan siang apabila terang benderang,
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰ
(3) dan demi apa yang menciptakan laki-laki dan perempuan,
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
(4) sesungguhnya usahamu benar-benar berbeda-beda (ke arah kebaikan dan keburukan).
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ
(5) Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa,
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ
(6) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
فَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
(7) maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).
وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ
(8) Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah),
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ
(9) dan mendustakan pahala yang terbaik,
فَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ
(10) maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan (kesengsaraan).
Ayat 1 hingga 4 dibuka dengan Allah SWT bersumpah demi ciptaan-Nya yang maha dahsyat dan fundamental: malam dan siang. Sumpah ini bertujuan untuk memberikan penekanan mutlak pada kebenaran kalimat setelahnya, yaitu bahwa setiap manusia memiliki jalur dan konsekuensi yang berbeda berdasarkan amalnya.
Malam yang Menyelimuti (Ayat 1): Malam melambangkan ketenangan, saat segala aktivitas dunia mereda. Ini adalah waktu introspeksi, di mana keagungan ciptaan Allah terlihat jelas ketika hiruk pikuk dunia berhenti. Dalam kegelapan malam, manusia kembali kepada kesadaran bahwa ia hanyalah hamba yang bergantung pada Pencipta.
Siang yang Terang Benderang (Ayat 2): Siang melambangkan aktivitas, usaha, dan manifestasi duniawi. Kontras antara malam dan siang menunjukkan dualitas eksistensi yang dikelola dengan sempurna oleh Allah.
Laki-laki dan Perempuan (Ayat 3): Sumpah ini juga mencakup penciptaan dua jenis manusia. Ini menegaskan keadilan dan tujuan penciptaan yang beragam, di mana perbedaan jenis kelamin bukanlah penentu utama nilai seseorang di sisi Allah, melainkan takwa dan amal perbuatannya.
Usaha yang Berbeda-beda (Ayat 4): Puncak dari sumpah-sumpah ini adalah penegasan bahwa 'sa'i' (usaha atau amal) manusia tidak seragam. Ada yang melangkah menuju ketaatan, ada yang cenderung pada kemaksiatan. Ayat ini menjadi landasan bagi sistem perhitungan amal di akhirat.
Setelah menetapkan bahwa amal manusia berbeda, Allah SWT kemudian merinci konsekuensinya menjadi dua kategori utama yang sangat jelas, yang harus direnungkan setiap Muslim saat berinteraksi dengan hartanya dan imannya.
Orang yang berbahagia adalah mereka yang menggabungkan dua pilar penting: memberi (infak) dan bertakwa. Memberi harta di jalan Allah adalah manifestasi nyata dari ketidakbergantungan pada dunia. Sementara itu, takwa adalah fondasi batin. Orang ini juga membenarkan janji Allah tentang ganjaran terbaik (Al-Husna), yakni Surga. Bagi mereka, Allah menjanjikan kemudahan dalam segala urusan dunia dan akhirat. Hal ini bukan berarti hidup mereka bebas masalah, tetapi Allah mempermudah mereka untuk melewati cobaan dan mencapai keridhaan-Nya.
Sebaliknya, orang yang celaka adalah mereka yang melakukan kebalikan total. Mereka kikir (bakhil), merasa dirinya cukup (mustaghni)—merasa tidak butuh pertolongan atau rahmat Allah—dan yang terparah, mereka mendustakan pahala terbaik. Sikap merasa cukup adalah puncak kesombongan ruhani. Akibatnya, Allah akan memudahkan mereka menuju kesulitan (Al-'Usra), yaitu jalan yang penuh kesempitan, kesulitan di dunia, dan azab di akhirat, karena mereka menolak taufik dan kemudahan yang ditawarkan Allah.
Pemahaman mendalam terhadap surat Al-Lail ayat 1-10 mendorong seorang Muslim untuk senantiasa mengevaluasi motif di balik tindakannya. Ayat-ayat ini mengajarkan bahwa kekayaan materi tidak berarti apa-apa kecuali digunakan untuk ketaatan. Kunci untuk meraih 'Al-Yusra' (kemudahan) adalah sifat pemurah yang didorong oleh ketakwaan, bukan sekadar kemurahan hati semata tanpa landasan iman.
Sebaliknya, kikir dan kesombongan adalah benteng yang menghalangi datangnya rahmat. Jika hati sudah tertutup oleh perasaan merasa cukup dan mendustakan janji Ilahi, maka logikanya, Allah akan menyerahkan orang tersebut kepada urusannya sendiri, yang pasti mengarah pada kesulitan dan kesesatan. Surat ini adalah pengingat abadi bahwa Allah telah menyediakan jalan keluar bagi mereka yang mau berusaha keras dalam kebaikan, berbanding lurus dengan jalan kesengsaraan bagi mereka yang memilih kesombongan dan kekikiran.