Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat Makkiyah yang kaya akan ajaran moral dan spiritual. Ayat-ayat 5 hingga 10 khususnya menyoroti konsekuensi dari dua perilaku kontras: kemurahan hati (infak) dalam menghadapi kesulitan dan ketakwaan sejati, berlawanan dengan kekikiran dan kesombongan.
Bagian ini secara spesifik membahas janji ganjaran bagi mereka yang menyalurkan hartanya di jalan Allah, sebuah tema yang seringkali diuji dalam kehidupan duniawi.
Teks dan Terjemahan Surat Al-Lail Ayat 5-10
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
1. Kunci Kemudahan: Infak dan Ketakwaan (Ayat 5-7)
Allah SWT memulai janji mulia ini dengan mendefinisikan siapa yang akan menerima kemudahan. Terdapat tiga pilar utama dalam ayat 5 hingga 7:
a. Al-I’tha' (Memberi/Infak)
Ini merujuk pada kedermawanan finansial, terutama ketika harta itu merupakan sesuatu yang dicintai pemiliknya. Memberi bukan hanya soal jumlah, tetapi soal keikhlasan dan kesadaran bahwa harta hakikatnya adalah titipan. Tindakan memberi ini mengatasi kecenderungan alami manusia untuk bakhil (kikir).
b. Taqwa (Bertakwa)
Infak yang disertai ketakwaan berarti memberi karena menyadari pengawasan Allah dan mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji manusia (riya'). Taqwa adalah kesadaran diri untuk patuh dan menjauhi larangan-Nya.
c. Tasdiq bil Husna (Membenarkan yang Terbaik)
Ini sering ditafsirkan sebagai membenarkan janji Allah tentang pahala surga (al-Husna) atau membenarkan kalimat tauhid (La ilaha illallah). Orang yang dermawan dan bertakwa meyakini sepenuhnya bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan balasan yang jauh lebih baik di akhirat.
Konsekuensinya luar biasa: "maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan kemudahan (al-Yusra)." Kemudahan di sini mencakup kemudahan dalam ketaatan, kemudahan menghadapi musibah, dan kemudahan mencapai surga di akhirat. Ini adalah janji langsung dari Rabbul 'alamin.
2. Jebakan Kesulitan: Kikir dan Merasa Cukup (Ayat 8-10)
Setelah memaparkan gambaran orang yang beruntung, Al-Lail menyajikan kontras yang tajam. Ayat 8 hingga 10 menggambarkan profil orang yang akan menghadapi kesulitan:
a. Bakhil (Kikir)
Ini adalah lawan dari infak. Orang kikir menimbun hartanya, takut hartanya habis atau hilang. Mereka terikat erat pada dunia, menjadikan harta sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
b. Istaghna (Merasa Cukup/Sombong)
Makna kedua dari istaghna adalah merasa dirinya mandiri, tidak memerlukan pertolongan atau bimbingan Allah SWT. Sikap ini menumbuhkan kesombongan spiritual dan meniadakan urgensi untuk bertakwa. Mereka merasa sudah "cukup" dengan pencapaian duniawi mereka.
c. Takdzib bil Husna (Mendustakan yang Terbaik)
Orang ini meremehkan atau secara aktif menolak kebenaran mengenai balasan akhirat yang dijanjikan Allah, baik itu janji pahala maupun ancaman siksa. Keyakinan mereka terbatas pada apa yang bisa dilihat dan disentuh di dunia.
Akibatnya adalah kesimpulan yang tegas: "maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesulitan (al-‘Usra)." Kesulitan ini melingkupi kesulitan dalam berbuat baik, kegelisahan hidup, dan kesulitan dalam menghadapi hisab di hari kiamat.
Implikasi Spiritual dalam Kehidupan Sehari-hari
Kajian ayat 5 hingga 10 Surat Al-Lail ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati—baik di dunia maupun akhirat—bukan diukur dari seberapa banyak harta yang kita kumpulkan, melainkan bagaimana kita mengelola harta tersebut. Allah SWT menguji hamba-Nya melalui kenikmatan dan kesenangan dunia. Apakah kita akan menggunakan kenikmatan itu sebagai sarana mendekat kepada-Nya (infak dan takwa), atau menjadikannya alasan untuk menjauh (kikir dan merasa cukup)?
Ayat ini menenangkan jiwa orang yang dermawan, mengingatkan mereka bahwa setiap tetes keringat yang mereka keluarkan untuk sedekah tidak sia-sia. Sebaliknya, ayat ini menjadi peringatan keras bagi mereka yang terjerumus dalam materialisme, bahwa jalan kemudahan yang mereka cari di dunia ini akan berbalik menjadi kesulitan besar di hadapan Sang Pencipta.
Memahami Surat Al-Lail ayat 5-10 adalah memahami esensi ibadah sosial dan keimanan yang teruji. Ia mengajarkan bahwa kunci untuk menjalani hidup dengan lapang adalah dengan melepaskan keterikatan pada materi dan menundukkan diri sepenuhnya kepada kehendak Ilahi.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mengintrospeksi diri. Apakah kita termasuk golongan yang mempersiapkan jalan kemudahan dengan infak dan ketakwaan, ataukah kita justru sedang menempuh jalan kesulitan karena kekikiran dan kesombongan terhadap nikmat yang telah diberikan?