Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat pendek dalam Juz Amma Al-Qur'an yang kaya akan makna filosofis dan spiritual. Salah satu ayat yang sering menjadi perenungan mendalam adalah **Surat Al-Lail Ayat 7**.
Ayat ini secara langsung berbicara mengenai salah satu dimensi kehidupan manusia yang paling menentukan jalan mereka di akhirat, yaitu tentang pemberian (infaq) dan kecukupan diri.
وَمَنْ نُفِّسَ عَنْهُ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan orang yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Lail: 7)
Ayat 7 ini merupakan kelanjutan logis dari ayat-ayat sebelumnya yang membahas tentang perbedaan jalan hidup manusia. Dalam ayat 5 dan 6, Allah SWT menjelaskan dua tipe manusia: tipe pertama yang berinfak, bertakwa, dan membenarkan Al-Husna (kebaikan), serta tipe kedua yang kikir dan mendustakan kebenaran.
Inti dari **Surat Al-Lail Ayat 7** terletak pada frasa kunci: "syuhha nafsihi" (kekikiran dirinya) atau "kekikiran jiwanya". Kekikiran di sini bukan sekadar enggan mengeluarkan harta benda, namun lebih mendalam; ia adalah sifat dasar manusia yang cenderung egois, tamak, dan sangat mencintai hartanya sendiri secara berlebihan. Sifat ini seringkali menjadi penghalang terbesar seseorang untuk berbuat baik, memberi sedekah, atau membantu sesama.
Allah SWT menjanjikan keberuntungan (Al-Muflihun) bagi mereka yang berhasil "dipelihara" atau "diselamatkan" dari sifat kikir tersebut. Kata 'dipelihara' (nuffisa) menyiratkan adanya proses pembersihan atau perlindungan dari sifat buruk tersebut. Ini menunjukkan bahwa melawan sifat kikir adalah sebuah perjuangan spiritual yang memerlukan pertolongan dan usaha keras.
Keberuntungan yang dijanjikan dalam ayat ini bersifat menyeluruh. Mereka yang terhindar dari belenggu kekikiran akan lebih mudah melakukan ketaatan lainnya, seperti menunaikan hak fakir miskin, menepati janji, dan menjauhi kemaksiatan. Kekikiran seringkali mematikan hati dari rasa empati. Ketika hati terbebas dari beban kecintaan duniawi yang berlebihan, maka jalan menuju keridhaan Allah menjadi lapang.
Ayat ini mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan. Islam tidak melarang mencari kekayaan atau menikmati rezeki, namun sangat melarang penimbunan harta secara egois. Kekikiran adalah indikasi penyakit hati yang menganggap harta sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana untuk beribadah dan menolong.
Oleh karena itu, seorang Muslim sejati harus senantiasa bermuhasabah, bertanya pada diri sendiri, apakah hari ini saya lebih mengutamakan harta atau Tuhanku? Apakah saya merasa lapang saat memberi, atau malah merasa kehilangan?
Di era modern, tantangan kekikiran seringkali termanifestasi dalam bentuk materialisme yang akut. Orang berlomba mengejar lebih banyak lagi, bahkan ketika kebutuhan primer mereka telah terpenuhi jauh di atas rata-rata. **Surat Al-Lail Ayat 7** menjadi pengingat tegas bahwa "kekayaan" sejati bukanlah seberapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa banyak yang kita mampu lepaskan di jalan kebaikan.
Keberuntungan (Falah) di sini merujuk pada keberhasilan abadi, yaitu meraih surga Allah SWT. Tidak ada jalan menuju keberhasilan hakiki tanpa menundukkan ego dan menyingkirkan sifat bakhil dari jiwa. Memahami dan mengamalkan makna ayat ini akan mengarahkan umat Islam untuk hidup lebih ringan, lebih bersyukur, dan lebih bermanfaat bagi lingkungannya, karena mereka telah berhasil menaklukkan musuh terbesar dalam dirinya sendiri: sifat kikir.
Ayat-ayat Al-Qur'an selalu memberikan solusi integral. Dengan mempraktikkan sifat kedermawanan dan membersihkan jiwa dari sifat tamak, umat manusia akan menemukan kedamaian di dunia dan keberuntungan yang dijanjikan di akhirat.