Surat Al-Lail (Malam) adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an yang turun di Mekah. Surat ini mengandung banyak pelajaran penting mengenai perbedaan jalan hidup manusia, baik jalan kebahagiaan maupun jalan kesengsaraan, yang kesemuanya berakar pada pilihan dan amal perbuatan mereka selama di dunia. Bagian krusial dari surat ini terletak pada ayat 8 hingga 11, di mana Allah SWT menjelaskan konsekuensi dari salah satu pilihan hidup yang sangat menentukan.
Ayat-ayat ini secara spesifik membahas tentang orang yang kikir (bakhil) dan orang yang dermawan (muraqib), serta janji balasan yang akan mereka terima sesuai dengan tindakan mereka di hadapan Tuhan.
Teks dan Terjemahan Surat Al-Lail Ayat 8-11
Analisis Mendalam Surat Al-Lail Ayat 8-11
Ayat 8 hingga 11 ini menyajikan kontras yang tajam antara dua orientasi kehidupan. Fokus utama ayat-ayat ini adalah pada konsekuensi buruk dari sifat kikir dan kesombongan spiritual.
1. Sifat Kikir dan Merasa Cukup (Ayat 8)
Allah SWT menggambarkan tipe manusia pertama: "وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ". Ini adalah deskripsi tentang seseorang yang menahan harta yang seharusnya dibelanjakan di jalan Allah. Kata "bakhil" (kikir) adalah penyakit hati yang membuat seseorang enggan berbagi. Lebih parah lagi, sifat kikir ini disertai dengan "istaghna", yaitu merasa dirinya sudah cukup kaya, sudah mandiri, dan tidak memerlukan pertolongan atau keridaan dari Allah SWT. Ini adalah bentuk kesombongan yang menyamar dalam kekayaan materi.
2. Mendustakan Kebaikan Tertinggi (Ayat 9)
Tingkat kekufuran spiritualnya semakin dalam ketika ia "وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ". "Al-Husna" di sini ditafsirkan sebagai balasan terbaik, yaitu Surga, atau bahkan ajaran kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Orang ini bukan hanya tidak beramal saleh, tetapi ia juga secara aktif menolak dan mendustakan konsep pahala tertinggi yang dijanjikan bagi orang yang beriman dan beramal saleh.
3. Konsekuensi: Jalan Kesukaran (Ayat 10)
Balasan dari perbuatan tersebut disimpulkan secara tegas: "فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ". Ayat ini mengandung ironi ilahiah. Ketika di dunia ia memilih jalan yang mudah (yaitu menimbun harta dan menolak kewajiban), di akhirat ia akan dipermudah menuju jalan yang paling sukar, yaitu siksa neraka. Allah memudahkan jalannya menuju 'al-'usra' (kesulitan/neraka) sebagai cerminan dari kemudahan yang ia ciptakan bagi dirinya sendiri untuk menjauhi ketaatan.
4. Harta yang Tak Bermanfaat (Ayat 11)
Ayat penutup dari rangkaian ini memberikan pukulan telak: "وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ". Di dunia, harta mungkin tampak sebagai pelindung, tetapi ketika seseorang telah 'terjerumus' ke dalam kehancuran (kematian dan azab kubur), harta benda tersebut tidak dapat menyelamatkannya sedikit pun. Ia akan ditinggalkan oleh hartanya, sama seperti ia meninggalkan amal baiknya di dunia.
Pesan Inti untuk Kehidupan Modern
Ayat 8 hingga 11 surat Al-Lail berfungsi sebagai peringatan keras di era materialisme. Banyak orang saat ini, meskipun secara fisik membutuhkan pertolongan Allah, seringkali bertindak seolah-olah harta dan pencapaian duniawi sudah cukup. Sikap merasa diri "cukup" inilah yang menghalangi seseorang untuk berinvestasi pada amal jariyah atau sedekah. Jika kita mengaitkan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya (Ayat 5-7) yang membahas tentang orang yang menafkahkan hartanya karena takut kepada Allah, terlihat jelas bahwa kriteria keberuntungan sejati adalah sejauh mana kita mampu membersihkan diri dari kekikiran dan mengarahkan harta kita untuk tujuan akhirat.
Memahami surat Al-Lail ayat 8-11 mendorong kita untuk introspeksi: Apakah kita termasuk orang yang sibuk mengumpulkan, atau orang yang sibuk mempersiapkan bekal? Jalan kemudahan menuju kebaikan hanya tersedia bagi mereka yang memilih untuk menempuh jalan ketaatan, bukan bagi mereka yang memilih jalan kesombongan dan kikir.