Al-Qur'an Al-Karim penuh dengan ayat-ayat yang memancarkan hikmah, namun terkadang surat-surat yang lebih pendek menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Di antara surat-surat tersebut, Surat Asy-Syams (Matahari) dan Surat Al-Lail (Malam) menonjol sebagai pasangan yang kontras namun saling melengkapi. Keduanya, yang merupakan surat-surat Makkiyah, membahas tema fundamental tentang kesucian jiwa, pilihan moral, dan konsekuensi dari tindakan manusia di hadapan Allah SWT. Memahami kedua surat ini adalah memahami dualitas eksistensi yang harus dihadapi setiap individu.
Visualisasi dualitas siang dan malam, refleksi dari sumpah dalam kedua surat.
Surat Asy-Syams diawali dengan serangkaian sumpah agung, dimulai dengan "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari." Sumpah ini bukan sekadar hiasan retoris, melainkan penekanan akan kebenaran pesan yang akan disampaikan. Allah bersumpah dengan fenomena alam yang sangat jelas dan teratur—matahari, bulan, bumi, dan bahkan penciptaan jiwa itu sendiri. Puncaknya adalah penetapan konsep Taqwa (kesucian) dan Fujur (kebejatan).
Inti dari surat ini terletak pada ayat ke-9 dan ke-10: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." Ini adalah pernyataan universal tentang mekanisme kebahagiaan. Keberuntungan (falah) tidak dicapai melalui kekayaan atau kekuasaan, melainkan melalui pembersihan batin dan penundukan diri pada kebenaran ilahi. Sebaliknya, kerugian (khusran) datang dari mereka yang menyembunyikan fitrah suci tersebut, mengingkari petunjuk yang telah diberikan.
Kisah kaum Tsamud yang membangkang dan menolak mukjizat unta betina (sebagai ujian dari Nabi Saleh AS) disajikan sebagai contoh nyata bagaimana penolakan terhadap kebenaran spiritual membawa kehancuran kolektif. Surat ini mengajarkan bahwa pilihan untuk mensucikan diri adalah pilihan aktif yang menentukan nasib akhir seseorang.
Jika Asy-Syams fokus pada potensi kesucian jiwa, Al-Lail menyoroti bagaimana manusia memilih jalannya, terutama ketika berada dalam kondisi sulit atau "gelap." Surat ini juga diawali dengan sumpah, kali ini bersumpah demi malam yang menyelimuti dan siang yang menampakkan diri. Perbandingan ini menegaskan bahwa setiap waktu dan kondisi adalah saksi atas perbuatan manusia.
Surat Al-Lail membagi manusia menjadi dua kategori utama berdasarkan prioritas hidup mereka. Kategori pertama adalah mereka yang berinfak, bertakwa, dan membenarkan adanya Hari Pembalasan. Bagi mereka dijanjikan kemudahan (yusr) dalam segala urusannya. Infak di sini bukan sekadar sedekah materi, tetapi pengeluaran untuk kebaikan di jalan Allah.
Kategori kedua adalah mereka yang kikir, merasa cukup dengan hartanya, dan mendustakan kebenaran akhirat. Bagi kelompok ini, dijanjikan kesulitan (usr). Ayat ini memberikan pelajaran penting: kemudahan hidup di dunia seringkali merupakan hasil dari kedermawanan dan ketakwaan, bukan semata-mata hasil usaha duniawi tanpa landasan spiritual. Kegelapan malam metaforis bagi kesesatan atau kemiskinan spiritual yang menjerat mereka yang hanya mengandalkan materi.
Surat Asy-Syams dan Al-Lail, meskipun membahas topik yang berbeda—otonomi moral dan konsekuensi amal—saling menguatkan satu sama lain. Asy-Syams menetapkan bahwa tujuan hidup adalah kesucian jiwa, sementara Al-Lail menunjukkan alat praktis untuk mencapai kesucian tersebut melalui kedermawanan dan keyakinan terhadap Hari Pertanggungjawaban. Kedua surat ini secara kolektif mengingatkan bahwa kehidupan adalah ujian yang meliputi siang dan malam, terang dan gelap. Keberhasilan abadi hanya diraih oleh mereka yang memilih untuk berinfak (Al-Lail) demi mensucikan jiwanya (Asy-Syams). Membaca dan merenungkan kedua surat ini secara bersamaan memberikan panduan komprehensif untuk menavigasi kompleksitas moral dalam perjalanan hidup seorang Muslim.