Tafsir Al-Qur'an adalah disiplin ilmu yang sangat penting dalam Islam, bertujuan untuk menggali makna dan hikmah yang terkandung dalam firman Allah SWT. Salah satu karya tafsir yang paling dihormati dan berpengaruh adalah Tafsir Ibnu Katsir. Nama lengkapnya adalah Abul Fida' Isma'il bin Katsir Al-Qurasyi, seorang ulama besar dari abad ke-14 Masehi. Tafsirnya dikenal karena pendekatannya yang metodologis, mengutamakan penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, kemudian dengan As-Sunnah (hadis), perkataan sahabat, dan tabi'in.
Dalam konteks penafsiran surah-surah pendek, seperti Surah Al-Lail (Surah ke-92), karya Ibnu Katsir menawarkan pemahaman yang mendalam meskipun ayatnya ringkas. Surah Al-Lail sendiri merupakan surah Makkiyah yang dimulai dengan sumpah-sumpah agung Allah SWT untuk menegaskan kebenaran dan pentingnya amal perbuatan manusia.
Ibnu Katsir menyoroti pentingnya sumpah-sumpah (قسم - *qasam*) yang digunakan oleh Allah SWT di awal surah ini. Sumpah-sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan otoritas Ilahi atas ciptaan-Nya. Ayat-ayat seperti "Demi malam apabila menutupi (siang)" (Ayat 1) dan "Demi siang apabila terang benderang" (Ayat 2) digunakan untuk menarik perhatian mutlak pembaca terhadap pelajaran yang akan disampaikan.
Menurut Ibnu Katsir, sumpah ini berfungsi untuk menekankan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tunduk pada kehendak dan kekuasaan Allah. Ketika Allah bersumpah atas fenomena alam yang jelas terlihat kontras fungsinya—malam yang menaungi dan siang yang menerangi—maka sumpah tersebut memiliki bobot yang luar biasa dalam konteks pembuktian kebenaran.
Inti ajaran Surah Al-Lail, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, berpusat pada usaha manusia dalam hidupnya. Ayat-ayat berikutnya membahas tentang perbedaan upaya manusia dalam mencari keridaan Allah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan tabiat yang berbeda-beda dalam pendekatannya terhadap kebenaran.
Ada dua kategori utama manusia yang disoroti:
Ibnu Katsir menekankan bahwa ketakwaan sejati terwujud melalui tindakan nyata, terutama kedermawanan. Perbuatan baik ini dilakukan bukan untuk mengharapkan balasan dari manusia, melainkan murni karena keyakinan akan adanya Hari Pembalasan.
Bagian akhir surah ini memberikan kabar gembira yang sangat rinci mengenai balasan bagi mereka yang mendahulukan keridhaan Allah. Ibnu Katsir merujuk pada ayat-ayat yang menjanjikan bahwa orang yang menyucikan jiwanya dan menaati perintah Allah akan mendapatkan keridhaan dan kenikmatan tertinggi di akhirat.
Penafsiran terhadap ayat 17-21 sangat penting. Ibnu Katsir menggarisbawahi bahwa menjauhkan diri dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga adalah tujuan utama. Balasan ini bersifat inklusif bagi siapa pun yang memenuhi syarat, terlepas dari latar belakang, asalkan mereka benar-benar bertakwa dan berinfak tulus. Janji ini memberikan harapan besar bagi kaum Muslimin di Mekkah yang mungkin saat itu mengalami penindasan, meyakinkan mereka bahwa kesabaran dan kedermawanan mereka tidak akan sia-sia.
Mengapa Tafsir Ibnu Katsir tetap relevan saat mempelajari Surah Al-Lail? Karena metode beliau yang berbasis riwayat (narasi hadis) memberikan konteks yang kokoh terhadap ayat-ayat yang terkesan umum. Ketika membahas kedermawanan, Ibnu Katsir sering menyertakan hadis-hadis sahih tentang sedekah dan keutamaan orang yang berinfak di jalan Allah. Ini membantu pembaca modern untuk tidak hanya memahami makna literal, tetapi juga aplikasi praktis dari ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, Tafsir Al-Lail Ibnu Katsir berfungsi sebagai jembatan antara keindahan puitis sumpah-sumpah di awal surah dengan tuntutan moral praktis di bagian akhirnya: bahwa kehidupan dunia ini adalah medan ujian untuk mencapai keridhaan Ilahi melalui ketakwaan dan kemurahan hati.