Surat Al-Fatihah, atau yang sering disebut Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an), adalah surat pertama dalam susunan mushaf dan merupakan rukun shalat yang tidak sah tanpanya. Keutamaan dan kedudukannya yang tinggi menjadikan penafsiran mendalam terhadapnya sebagai kebutuhan esensial bagi setiap Muslim. Salah satu tafsir paling otoritatif dan populer dalam tradisi Sunni adalah karya monumental Imam Ibnu Katsir.
Imam Ibnu Katsir (rahimahullah) menyajikan tafsir yang berlandaskan pada prinsip utama penafsiran, yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, kemudian dengan As-Sunnah, lalu dengan perkataan sahabat, dan terakhir dengan pandangan ulama tabi'in. Dalam menafsirkan Al-Fatihah, beliau menyoroti makna akidah, hukum, serta keagungan pujian kepada Allah SWT.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Al-Fatihah adalah surat Makkiyah, diturunkan untuk menegaskan tauhid rububiyah dan uluhiyah. Surat ini dinamakan Al-Fatihah karena membuka Al-Qur'an, dan dinamakan juga Ash-Shalah (Shalat) karena menjadi poros sahnya ibadah tersebut. Dalam tafsirnya, beliau mengutip berbagai riwayat yang menegaskan bahwa ayat-ayat ini adalah inti dari seluruh ajaran Islam.
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Ibnu Katsir memulai dengan menjelaskan makna Basmalah. Beliau menegaskan bahwa mengucapkan "Bismillah" adalah bentuk pengakuan bahwa segala sesuatu yang akan dimulai haruslah dengan memohon pertolongan dan berkah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kata Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) menekankan sifat rahmat Allah yang meliputi seluruh ciptaan-Nya di dunia dan orang-orang beriman di akhirat.
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Ayat kedua ini adalah penegasan Tauhid Al-Asma' was-Shifat dan Tauhid Al-Ibadah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Al-Hamd (pujian) adalah pujian yang sempurna yang layak hanya untuk Allah. Frasa Rabbil 'Alamin menunjukkan bahwa Dialah Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur segala sesuatu yang ada, baik dari kalangan jin, manusia, malaikat, maupun seluruh alam raya. Ini menegaskan keesaan-Nya sebagai Rabb (Penguasa tunggal).
"Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Pengulangan sifat ini, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir, berfungsi sebagai tawakkid (penekanan) sekaligus menunjukkan bahwa Rahmat adalah sifat-Nya yang paling dominan. Meskipun Allah adalah Hakim yang akan membalas perbuatan, sifat kasih sayang-Nya mendahului kemurkaan-Nya.
"Raja (Pemilik) hari Pembalasan."
Ayat ini fokus pada hari akhir. Ibnu Katsir menggarisbawahi bahwa meskipun Allah adalah Raja (Malik) segala sesuatu di dunia, kepemilikan-Nya bersifat sementara dan dibagi dengan sebab. Namun, pada Hari Kiamat, tidak ada lagi raja selain Allah SWT. Semua manusia akan menjadi hamba-Nya, menunggu keputusan-Nya atas amal perbuatan mereka. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras akan tanggung jawab amal.
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Ini adalah inti spiritual Al-Fatihah. Ibnu Katsir menekankan pemisahan penyebutan "Hanya Engkaulah" (Iyyaka) sebelum ibadah dan pertolongan. Ini menunjukkan batasan tauhid uluhiyah (pengabdian) dan tauhid rububiyah (permohonan tolong). Pengabdian harus ditujukan mutlak hanya kepada-Nya, dan pertolongan sejati hanya datang dari-Nya. Ayat ini adalah pernyataan totalitas ketergantungan hamba kepada Rabb-nya.
"Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Setelah memuji dan menyatakan pengabdian, seorang hamba memohon petunjuk. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Ash-Shirat Al-Mustaqim adalah jalan yang jelas, tidak bengkok, yang mengantarkan kepada ridha Allah dan Surga-Nya. Petunjuk ini harus diminta terus-menerus, karena seorang insan pasti lalai dan mudah tersesat jika mengandalkan kemampuannya sendiri.
"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat."
Ayat penutup ini membatasi makna "jalan lurus" tersebut. Ibnu Katsir mengidentifikasi tiga golongan manusia dalam konteks ini: 1. Mereka yang diberi nikmat (Nabi, Shiddiqin, Syuhada, Shalihin). 2. Mereka yang dimurkai (yang mengetahui kebenaran namun menolaknya, seperti Yahudi). 3. Mereka yang sesat (yang tidak mengetahui kebenaran atau salah dalam penerapannya, seperti Nashara). Dengan demikian, Al-Fatihah menutup dengan penegasan bahwa tujuan seorang mukmin adalah menempuh manhaj yang telah dibuktikan keberhasilannya oleh para Nabi dan orang-orang saleh.
Secara keseluruhan, tafsir Ibnu Katsir pada Surat Al-Fatihah adalah rangkuman padat mengenai fondasi akidah Islam: pengenalan akan keesaan Allah, penegasan kekuasaan-Nya di hari pembalasan, fokus pada ibadah yang murni, dan permohonan konsisten untuk petunjuk menuju jalan kebenaran yang telah diridhai.