Surah Al-Fatihah, "Pembukaan", adalah jantung dari setiap rakaat salat umat Islam. Ia bukan sekadar rangkaian doa, melainkan sebuah kontrak spiritual yang mendalam antara hamba dan Tuhannya. Karena kedudukannya yang fundamental, para ulama besar sepanjang sejarah memberikan perhatian khusus terhadap makna, implikasi hukum, dan kedalaman spiritual setiap ayatnya. Berikut adalah rangkuman tafsir Surah Al-Fatihah dari perspektif 10 ulama terkemuka.
Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan cenderung menekankan makna bahasa Arab yang paling jelas dan makna yang disepakati oleh para Sahabat dan Tabi'in. Untuk Bismillah, beliau melihatnya sebagai penegasan izin dan keberkahan dalam memulai segala urusan, sementara Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin adalah pujian mutlak yang mencakup seluruh ciptaan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin melihat Al-Fatihah sebagai perjalanan jiwa. Alhamdulillahi adalah pengakuan keindahan Tuhan, Maliki Yaumid Din adalah kesadaran akan Hari Penghakiman yang mendorong ketakwaan, dan puncaknya adalah Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), yang merupakan puncak keikhlasan hamba.
Razi menekankan aspek logis dan teologis. Dalam Mafatihul Ghaib, beliau membahas mengapa Allah memulai dengan pujian (Alhamdulillah) sebelum menuntut ibadah. Ini menunjukkan bahwa pengakuan atas kesempurnaan-Nya adalah prasyarat logis sebelum seorang hamba berhak memohon sesuatu.
An-Nawawi dalam Al-Majmu' fokus pada hukum-hukum yang melekat pada bacaan Fatihah. Beliau menekankan wajibnya membaca Al-Fatihah di setiap rakaat (bagi yang mampu) sebagai rukun salat, dan membahas perbedaan pendapat mengenai pengucapan Basmalah (apakah termasuk ayat pertama atau pembukaan terpisah).
Ibnu Katsir mengumpulkan hadis dan atsar mengenai keutamaan dan makna ayat-ayat Fatihah. Baginya, ayat-ayat ini adalah jawaban langsung dari Allah kepada hamba-Nya saat ia membacanya, menekankan dialog ilahiah yang terjadi dalam salat.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya sering menyajikan berbagai pandangan hukum (fiqih) terkait tata cara pembacaan, misalnya kapan harus menjaharkan (mengeraskan suara) atau menyirarkan (merahasiakan) bacaan Basmalah dan ayat-ayatnya.
As-Sa'di menekankan bahwa Al-Fatihah mengandung empat pilar utama: pujian, keesaan Ilahi, janji dan ancaman (hari kiamat), serta permintaan pertolongan dan petunjuk. Beliau menyoroti bahwa permintaan petunjuk (Shirothol Mustaqim) adalah inti dari kebutuhan eksistensial manusia.
Syaukani, dalam Fathul Qadir, cenderung memilih pendapat yang paling kuat dalilnya tanpa terlalu banyak membahas perdebatan panjang. Ia menegaskan bahwa pengakuan atas kepemilikan Allah (Rabbil 'Alamin) menuntut kepatuhan total.
Ibnu Ashur melihat Fatihah sebagai rangkuman tujuan inti risalah Islam. Ia menekankan bahwa penyebutan Allah sebagai Ar-Rahman Ar-Rahim segera setelah Rabbil 'Alamin menunjukkan bahwa rahmat adalah sifat fundamental yang mendahului kekuasaan.
Sebagai seorang ahli bahasa dan pembela Al-Qur'an, Al-Baqillani menyoroti keindahan susunan kata Fatihah yang padat makna. Baginya, kesempurnaan tata bahasa dan kedalaman makna dalam tujuh ayat pendek ini adalah bukti otentisitas ilahiahnya.
Dari perspektif para ulama ini, terlihat bahwa tafsir Surah Al-Fatihah merentang dari aspek hukum (fiqih), kedalaman batin (tasawwuf), hingga keindahan bahasa (balaghah). Meskipun metodologi mereka berbeda, benang merahnya tetap sama: Al-Fatihah adalah cetak biru ibadah, pengakuan atas keesaan Allah, dan permohonan tak terputus akan bimbingan menuju jalan yang lurus (Shirothol Mustaqim). Memahami beragam tafsir ini memperkaya pengalaman kita saat membacanya dalam salat, mengubah ritual menjadi dialog yang mendalam dengan Sang Pencipta.