Dalam lanskap bahasa dan budaya Indonesia, banyak kata memiliki akar makna yang mendalam, seringkali melampaui definisi kamus sederhana. Salah satu kata yang menarik untuk dieksplorasi adalah tenganan. Kata ini, meskipun mungkin tidak sepopuler istilah lain, menyimpan esensi tentang keseimbangan, keterhubungan, dan posisi tengah yang vital dalam berbagai konteks, mulai dari filosofi hidup hingga praktik sosial.
Secara etimologis, kata tenganan sering kali berdekatan dengan konsep 'tengah' atau 'antara'. Namun, penerapannya jauh lebih bernuansa. Ia bukan sekadar titik nol di tengah-tengah garis, melainkan sebuah zona aktif di mana dua kekuatan atau entitas bertemu, berinteraksi, dan mencapai titik setimbang. Dalam banyak tradisi lisan, tenganan merujuk pada kondisi ideal yang harus dicapai agar suatu sistem—baik itu keluarga, komunitas, atau bahkan alam—dapat berfungsi secara harmonis.
Di lingkup sosial, konsep tenganan sangat penting dalam menjaga stabilitas hubungan antarwarga. Ketika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat yang tajam antara dua kelompok, mencari jalan tenganan berarti mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak tanpa membiarkan salah satunya mendominasi atau merasa terpinggirkan sepenuhnya. Ini memerlukan dialog yang intensif dan rasa saling menghormati yang tinggi.
Bukanlah kompromi yang berarti kehilangan segalanya, melainkan penemuan titik temu yang konstruktif. Ketika masyarakat berhasil mempertahankan prinsip tenganan ini, ikatan sosial menjadi lebih kuat. Mereka belajar bahwa posisi ekstrem jarang sekali membawa keberlanjutan jangka panjang. Sebaliknya, memegang teguh nilai di tengah, area aman bersama, adalah kunci untuk kelangsungan hidup komunal.
Penerapan filosofi tenganan juga meluas ke ranah personal. Banyak ajaran kuno menekankan pentingnya menghindari perilaku ekstrem, baik itu kemewahan berlebihan (nafsu) maupun pengabaian total (asketisme tanpa tujuan). Hidup yang seimbang, yang sering diartikan sebagai hidup yang penuh tenganan, memungkinkan individu untuk berkembang secara holistik.
Keseimbangan ini harus diterapkan pada berbagai aspek: antara bekerja keras dan beristirahat, antara memberikan dan menerima, antara ekspresi diri dan pengekangan diri. Ketika seseorang gagal menemukan tenganan dalam hidupnya, mereka cenderung mengalami kelelahan emosional atau kehampaan spiritual. Mencari titik tengah ini adalah sebuah perjalanan berkelanjutan, bukan tujuan akhir yang statis.
Alam semesta itu sendiri adalah manifestasi terbesar dari prinsip tenganan. Siklus siang dan malam, pasang surut air laut, hingga musim hujan dan kemarau semuanya adalah bukti bahwa keberlangsungan ekosistem bergantung pada dinamika pertukaran dan penyeimbangan energi. Ekosistem yang sehat adalah yang berada dalam keadaan tenganan yang rapuh.
Ketika manusia mencoba mendominasi alam secara sepihak, mengabaikan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan ekologis, konsekuensinya sering kali berupa bencana alam. Oleh karena itu, praktik kearifan lokal sering kali mengajarkan manusia untuk hidup selaras, bukan mendominasi, sebuah penghormatan terhadap hukum tenganan alamiah.
Di era informasi yang serba cepat ini, konsep tenganan menjadi semakin relevan, terutama dalam menghadapi polarisasi opini publik. Media sosial sering kali mendorong orang ke sudut pandang ekstrem, meninggalkan sedikit ruang untuk diskursus yang matang di area tengah. Mempraktikkan tenganan dalam konsumsi berita berarti tidak mudah terhanyut oleh narasi tunggal, melainkan berusaha memahami kompleksitas situasi dari berbagai perspektif.
Intinya, kata tenganan adalah sebuah panggilan filosofis. Ia mengingatkan kita bahwa stabilitas, keindahan, dan keberlanjutan sering kali tidak ditemukan di ujung spektrum, melainkan di titik temu yang bijaksana. Menemukan tenganan membutuhkan kebijaksanaan, kesabaran, dan kemauan untuk terus berdialog, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri.