Surah Al-Lail (Malam), yang merupakan surat ke-92 dalam urutan Mushaf, adalah salah satu surah pendek di Juz 'Amma yang sarat akan makna filosofis dan peringatan ilahiah. Ayat-ayatnya dibuka dengan sumpah-sumpah Allah SWT yang menunjukkan kekuasaan-Nya atas fenomena alam semesta, khususnya pergantian siang dan malam.
Tujuan utama dari surah ini adalah untuk menyoroti prinsip dasar keadilan Ilahi: bahwa setiap perbuatan baik atau buruk akan mendapatkan balasannya, dan bahwa usaha keras seseorang di dunia ini adalah demi kebaikan dirinya sendiri di akhirat. Surah ini secara spesifik mengingatkan bahwa Allah tidak memerlukan perbuatan kita, tetapi kita yang memerlukan rahmat dan pahala-Nya.
Berikut adalah rangkuman terjemahan dari beberapa ayat kunci dalam Surah Al-Lail:
Ayat pembuka ini menggunakan sumpah alam (malam yang menutupi, siang yang menyinari) untuk menarik perhatian manusia pada kenyataan bahwa aktivitas dan tujuan hidup mereka (usaha) sangatlah beragam. Ada yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan, ada pula yang lalai.
Ini adalah janji spesifik bagi mereka yang memiliki tiga sifat utama: kedermawanan (memberi harta di jalan Allah), ketakwaan, dan keyakinan kuat terhadap janji surga (al-husna). Bagi mereka, Allah menjanjikan kemudahan dalam menjalani kebaikan.
Kontrasnya sangat jelas. Orang yang kikir, merasa diri sudah kaya dan tidak perlu bertakwa, serta menolak kebenaran akhirat, akan dimudahkan jalannya menuju kesusahan dan kehancuran abadi. Kekayaan duniawi tidak akan bisa menyelamatkannya saat kematian menjemput.
Bagian akhir surah ini menegaskan bahwa petunjuk itu ada pada Allah, dan tugas manusia hanyalah memberi peringatan. Surah ditutup dengan penegasan bahwa Allah memiliki kekuasaan atas awal dan akhir kehidupan, dan neraka adalah tempat bagi orang yang paling celaka.
Dalam ayat 14-15, disebutkan: "Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang akan memasukinya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan dan berpaling."
Intisari dari terjemahan Surah Al-Lail adalah seruan untuk introspeksi diri mengenai prioritas hidup. Ayat-ayat ini memaksa pembaca untuk melihat dua jalur yang berlawanan: jalur yang menuju kemudahan (Yusr) dan jalur yang menuju kesukaran ('Usra).
Surah ini menempatkan kedermawanan (infaq) sebagai ujian nyata keimanan. Seseorang yang benar-benar bertakwa tidak akan merasa hartanya sebagai miliknya secara mutlak, melainkan sebagai titipan yang harus disalurkan. Kikir adalah tanda ketergantungan kepada harta dunia, sementara memberi adalah tanda ketergantungan kepada Allah SWT.
Penggunaan sumpah "malam dan siang" bukan sekadar deskripsi kosmik. Malam adalah waktu hening, refleksi, dan ibadah tersembunyi. Siang adalah waktu beraktivitas dan mencari rezeki. Surah ini menyeimbangkan antara refleksi batin (malam) dan usaha duniawi (siang), mengingatkan bahwa kedua aktivitas itu harus didasari oleh tujuan akhirat.
Memahami terjemahan Al-Lail lebih dari sekadar menghafal artinya; ia adalah panggilan untuk mengevaluasi jejak langkah kita. Apakah kita sedang menapaki jalan yang memudahkan menuju keridhaan Ilahi, ataukah kita tengah terseret menuju kesukaran karena kesombongan dan kekikiran? Jawaban dari usaha yang kita lakukan di dunia inilah yang akan menentukan tempat kita di akhirat kelak.