Visualisasi simbolis suasana Desa Trunyan di tepi Danau Batur.
Desa Trunyan, yang terletak di tepi Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali, merupakan salah satu kantong budaya yang paling unik dan menarik di Nusantara. Berbeda dengan mayoritas masyarakat Bali yang menganut Hindu Dharma dengan tradisi Ngaben (kremasi) yang megah, penduduk asli Trunyan, yang menyebut diri mereka sebagai 'Wong Trunyan' atau 'Sekehe Trunyan', memiliki ritual kematian yang sangat khas dan berbeda—yaitu pemakaman di alam terbuka.
Keistimewaan utama Desa Trunyan terletak pada cara mereka memperlakukan jenazah yang telah meninggal dunia. Tidak seperti masyarakat Bali pada umumnya yang melakukan upacara kremasi yang membutuhkan biaya besar, warga Trunyan membiarkan jenazah diletakkan begitu saja di sebuah area terbuka yang dikenal sebagai 'Sangka'.
Area Sangka ini dikhususkan bagi jenazah yang meninggal dalam keadaan wajar (bukan karena kecelakaan atau penyakit tertentu). Jenazah diletakkan di atas tanah beralaskan bambu khusus dan dibiarkan membusuk secara alami. Kepercayaan lokal menyebutkan bahwa aura wangi dari pohon Taru Menyan (Pohon Kemenyan) yang tumbuh subur di area tersebut akan menetralkan bau busuk jenazah. Inilah asal muasal nama desa ini, Trunyan, yang merupakan gabungan dari kata Taru (pohon) dan Menyan (harum).
Tradisi ini bukan sekadar adat tanpa dasar, melainkan memiliki landasan filosofis yang kuat terkait dengan konsep siklus kehidupan dan kesederhanaan. Bagi masyarakat Trunyan, pemakaman terbuka ini dianggap sebagai bentuk penyerahan diri total kepada alam semesta dan mengurangi beban material yang tidak perlu. Mereka meyakini bahwa proses alami ini adalah jalan tercepat bagi roh untuk kembali ke Sang Pencipta tanpa melalui proses pembakaran yang panjang dan mahal.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua jenazah diperlakukan sama. Terdapat aturan ketat mengenai siapa saja yang boleh dimakamkan di Sangka. Jenazah yang meninggal karena penyakit menular, bunuh diri, atau kecelakaan biasanya akan dimakamkan secara biasa di pemakaman umum desa, bukan di area Sangka yang terkenal tersebut.
Masyarakat Trunyan hidup dalam isolasi budaya yang cukup ketat, menjaga adat istiadat mereka meskipun pariwisata mulai merambah ke Danau Batur. Mereka mayoritas adalah petani dan nelayan yang bergantung pada kesuburan tanah vulkanik di sekitar Gunung Batur dan hasil tangkapan dari danau kaldera terbesar di Bali ini.
Struktur sosial desa ini sangat terikat pada garis keturunan dan sistem kasta lokal yang berbeda dengan kasta umum di Bali (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra). Meskipun mereka secara budaya Hindu Bali, praktik keagamaan mereka cenderung lebih purba, mencampurkan elemen animisme dan dinamisme yang kuat.
Popularitas Desa Trunyan sebagai tujuan wisata budaya telah membawa dampak positif berupa peningkatan ekonomi, namun juga tantangan dalam pelestarian budaya. Wisatawan yang berkunjung harus sangat menghormati adat istiadat setempat.
Area pemakaman Sangka, khususnya, adalah zona sakral. Pengunjung biasanya hanya diperbolehkan melihat dari area yang telah ditentukan dan tidak diizinkan mengambil foto jenazah atau memasuki area utama tanpa izin khusus dari pemangku adat. Kesadaran dan penghormatan terhadap privasi dan kesakralan ritual adalah kunci saat menjelajahi keunikan Desa Trunyan.
Trunyan adalah pengingat nyata bahwa Bali bukan hanya tentang pantai indah dan pura megah, tetapi juga tentang keberagaman mendalam dalam praktik spiritual dan sosial yang telah diwariskan turun-temurun. Tradisi unik di tepi Danau Batur ini terus bertahan, menawarkan perspektif baru tentang kehidupan, kematian, dan siklus alam di Pulau Dewata.