Surat An-Nasyrah, atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Insyirah (dibaca: Al-Syarh), merupakan surat ke-94 dalam Al-Qur'an. Terdiri hanya dari delapan ayat pendek, surat ini menyimpan energi spiritual dan pesan motivasi yang sangat kuat bagi setiap Muslim yang menghadapinya dalam kehidupan. Nama Al-Insyirah sendiri berarti "Pembukaan" atau "Pelapangan Dada."
Nabi Muhammad SAW dilaporkan merasa sangat tertekan jiwanya ketika menghadapi penolakan dan kesulitan dakwah pada masa-masa awal di Mekkah. Dalam situasi genting itulah, Allah SWT menurunkan surat ini sebagai penyejuk hati, penguat iman, dan janji eksplisit bahwa kesulitan tidak akan pernah bertahan selamanya.
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Ayat pertama membuka dengan penegasan ilahi yang langsung menyentuh inti masalah:
Alam nasyraḥ laka ṣadrak
(Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?)
Ayat pembuka ini bukan sekadar pertanyaan retoris, melainkan sebuah pengingat akan nikmat kemudahan terbesar yang telah Allah berikan sebelumnya. Ini adalah landasan psikologis bahwa jika kemudahan besar sudah pernah dirasakan, maka kemudahan lain pasti akan menyusul kesulitan.
Surat Al-Insyirah membangun argumennya secara bertahap. Setelah menegaskan telah dilapangkannya dada Nabi, Allah SWT melanjutkan dengan mengikis beban-beban yang menekan:
Wa waḍaʿnā ʿanka wizrak
(Dan Kami telah meringankan dari padamu bebanmu)
Beban (wizr) ini bisa diartikan sebagai dosa-dosa yang telah diampuni, atau tekanan psikologis dan fisik akibat dakwah. Allah tidak hanya memberi kelapangan, tetapi juga menghilangkan sumber kesempitan itu sendiri.
Puncak dari janji ini terletak pada ayat yang sangat terkenal, yaitu ayat kelima dan keenam. Ini adalah formula ajaib yang diajarkan Allah kepada Nabi, yang kemudian menjadi mantra spiritual bagi miliaran umat manusia:
Fa inna maʿal-ʿusri yusrā
Inna maʿal-ʿusri yusrā
(Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.)
Pengulangan kalimat "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" (Inna ma'al 'usri yusra) adalah penekanan yang luar biasa. Para ulama menekankan bahwa kata 'bersama' (ma'a) menunjukkan bahwa kemudahan itu tidak datang setelah kesulitan berakhir, melainkan **menyertai** kesulitan itu sendiri. Artinya, di tengah-tengah kesulitan itu sudah ada benih kemudahan yang siap mekar. Ini mengajarkan optimisme aktif, bukan sekadar pasif menunggu.
Bagi umat Islam di zaman modern yang sering dihadapkan pada kemacetan hidup, kegagalan karier, atau krisis personal, Al-Insyirah berfungsi sebagai pengingat fundamental bahwa kondisi tergelap sekalipun adalah sementara.
Jika seorang muslim merasa dadanya sesak karena masalah, ayat pertama mengingatkan bahwa Allah adalah sumber solusi kelapangan. Dengan mengingat Allah (dzikir), shalat, dan membaca Al-Qur'an, hati yang sempit akan dilegakan.
Setelah janji kemudahan, ayat ketujuh dan kedelapan mendorong untuk terus beramal dan beribadah dengan sepenuh hati:
Fa idhā faraghta fanṣab
Wa ilā rabbika farghab
(Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah (urusan) yang lain dengan sungguh-sungguh. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.)
Perintah "maka apabila kamu telah selesai" menyiratkan bahwa aktivitas manusia itu tidak pernah berhenti. Setelah menyelesaikan satu masalah (atau satu ibadah, seperti shalat), kita harus segera beralih dengan semangat baru ke tugas berikutnya (fanṣab, tegakkanlah dirimu). Dan semua usaha itu harus diarahkan hanya kepada Allah (farghab).
Secara keseluruhan, tulisan Al-Insyirah adalah manual ilahi tentang resiliensi. Ia memproklamirkan bahwa di setiap kesulitan ada janji pertolongan yang menyertai, dan tugas kita hanyalah terus berusaha, menegakkan diri, serta memusatkan segala harapan kepada Tuhan Yang Maha Pemberi Kelapangan.