Kajian Mendalam Ayat Ketiga Surah Al-Ikhlas

1 Tauhid Tunggal

Ilustrasi Konsep Keesaan

Surah Al-Ikhlas, yang merupakan jantung dari ajaran tauhid dalam Islam, terdiri dari empat ayat pendek namun padat makna. Surah ini turun sebagai respons terhadap pertanyaan orang-orang musyrik mengenai nasab dan hakikat Tuhan yang diyakini oleh Nabi Muhammad SAW. Setiap ayatnya secara tegas membersihkan (memurnikan) konsep peribadatan dari segala bentuk kesyirikan.

Ayat Ketiga: Teks dan Makna

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
(Dia) tidak beranak dan tiada pula diperanakkan.

Ayat ketiga ini—"Lam yalid walam yulad"—adalah penegasan fundamental kedua setelah pengakuan keesaan Allah SWT (Ayat 1 dan 2). Ayat ini secara langsung menolak segala bentuk perumpamaan makhluk terhadap Sang Pencipta. Penolakan ini sangat vital karena dalam banyak kebudayaan dan keyakinan lama, dewa-dewi sering digambarkan memiliki hubungan kekeluargaan, lahir, atau melahirkan.

Konsep "tidak beranak" (lam yalid) menafikan gagasan bahwa Allah SWT memiliki keturunan, entah itu anak laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks historis, ayat ini sering ditujukan untuk membantah klaim orang-orang musyrik yang menganggap malaikat sebagai "putri-putri Allah." Bagi seorang Muslim, Allah adalah Dzat yang Maha Mandiri, tidak membutuhkan penerus atau pewaris. Keberadaan-Nya tidak bergantung pada proses reproduksi yang merupakan ciri khas kehidupan fana.

Selanjutnya, frasa "dan tiada pula diperanakkan" (walam yulad) menegaskan bahwa Allah SWT bukanlah hasil dari proses penciptaan atau kelahiran. Dia bukan turunan dari siapapun atau apapun. Jika Allah lahir dari sesuatu, maka Ia haruslah membutuhkan keberadaan sesuatu yang mendahuluinya, yang secara otomatis akan menempatkan Dzat yang melahirkannya (atau prosesnya) sebagai entitas yang lebih tinggi atau setara, yang jelas bertentangan dengan sifat Uluhiyah (Kesyukuran Tertinggi).

Implikasi Filosofis Penyangkalan Keturunan

Penolakan terhadap konsep beranak dan diperanakkan menunjukkan kesempurnaan mutlak Allah. Kesempurnaan Allah berarti Dia tidak memiliki cacat atau kekurangan sedikit pun. Kebutuhan untuk bereproduksi atau dilahirkan muncul dari keterbatasan eksistensi makhluk; makhluk fana membutuhkan reproduksi untuk kelangsungan spesies dan terbatas oleh waktu. Sebaliknya, Allah SWT Maha Kekal (Al-Awwal wal Akhir). Jika Dia "dilahirkan," itu berarti Dia memiliki awal keberadaan, dan jika Dia "melahirkan," itu berarti keberadaan-Nya bersifat sementara karena membutuhkan generasi penerus.

Ayat ini membebaskan pikiran manusia dari antropomorfisme—menggambarkan Tuhan dalam bentuk atau sifat manusia. Dengan meniadakan atribut yang melekat pada makhluk hidup (seperti kelahiran dan keturunan), Al-Ikhlas memaksa seorang mukmin untuk merenungkan hakikat ketuhanan yang melampaui segala bentuk pemikiran materialistik atau konvensional. Inilah inti dari pemurnian tauhid: mengenal Allah sebagaimana Allah mengenalkan Diri-Nya sendiri, tanpa penambahan atau pengurangan sifat-sifat makhluk.

Melalui ayat ini, kita diajarkan bahwa penghormatan sejati kepada Allah berarti melepaskan segala konsep hubungan kekerabatan atau ketergantungan temporal dari-Nya. Allah tidak terikat oleh hukum sebab-akibat yang mengatur alam semesta. Dia adalah Pencipta sebab-akibat itu sendiri. Menggambarkan Allah sebagai ayah atau anak, dalam konteks makhluk, adalah bentuk kesyirikan halus yang wajib dihindari. Oleh karena itu, ayat ketiga Surah Al-Ikhlas berfungsi sebagai fondasi filosofis yang sangat kuat dalam membangun akidah yang bersih dari kontaminasi pemikiran parsial manusia.

🏠 Homepage