Surat Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan," adalah surah pertama dalam Al-Qur'an dan merupakan fondasi spiritual bagi setiap Muslim. Surah ini sering disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Kitab) karena mengandung inti sari seluruh ajaran ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Setiap ayat dalam tujuh ayat Al-Fatihah memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Fokus kita kali ini adalah pada ayat keempat, sebuah penegasan otoritas Tuhan yang fundamental dalam keyakinan Tauhid.
Ayat ini datang setelah pengakuan atas keesaan Allah dan sifat kasih sayang-Nya (Ar-Rahman, Ar-Rahim). Ayat keempat ini menyempurnakan gambaran tentang siapa yang patut disembah: Zat yang tidak hanya Maha Pengasih saat ini, tetapi juga pemegang penuh kekuasaan tertinggi di masa depan.
Kata kunci dalam ayat ini adalah 'Mālik' dan 'Yaumiddin'.
Malik (مَالِكِ): Secara harfiah berarti "Raja" atau "Pemilik." Beberapa ulama tafsir membedakan antara 'Malik' dan 'Mālik' (dengan fathah di atas mim). Dalam riwayat bacaan tertentu (seperti Qira'ah Imam Ashim), lafalnya adalah 'Mālik' (dengan fathah), menekankan kepemilikan absolut. Dalam riwayat lain, dibaca 'Malik' (dengan kasrah), menekankan kekuasaan dan kedaulatan. Namun, dalam konteks Al-Fatihah, kedua makna ini berhimpun: Allah adalah Raja yang berdaulat penuh atas Hari Pembalasan.
Ini menegaskan bahwa pada Hari Kiamat, tidak ada raja, presiden, dewa, atau kekuatan lain yang dapat memberikan keputusan atau syafaat tanpa izin-Nya. Di sana, otoritas mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Yaumiddin (يَوْمِ ٱلدِّينِ): Kata 'Din' di sini merujuk pada pembalasan atau perhitungan. Ini adalah Hari di mana setiap perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, akan dipertanggungjawabkan. Ini adalah hari keadilan yang sempurna.
Menggabungkan keduanya, 'Mālikiyawmiddīn' adalah pengingat bahwa kehidupan duniawi yang penuh ujian dan ketidakadilan ini bersifat sementara. Kekuasaan yang terlihat di dunia akan sirna, dan yang tersisa hanyalah penghakiman yang adil dari Sang Pemilik segala waktu dan segala urusan.
Ayat keempat ini berfungsi sebagai jembatan penting dalam struktur Al-Fatihah. Setelah kita mengakui Tuhan sebagai Pencipta dan Pengasih (Ayat 1-3), kita kemudian harus memahami bahwa kasih sayang-Nya dibarengi oleh keadilan yang tak terhindarkan. Ini menciptakan keseimbangan psikologis dan spiritual bagi seorang hamba.
Pertama, bagi orang yang beriman dan beramal saleh, ayat ini memberikan harapan bahwa kebaikan mereka tidak akan sia-sia; ada Raja yang akan memberikan balasan sempurna. Kedua, bagi mereka yang zalim dan menolak kebenaran, ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bahwa tidak ada satu pun kejahatan yang luput dari pengawasan dan perhitungan-Nya.
Dengan mengucapkan ayat ini dalam shalat, seorang Muslim secara sadar menyatakan bahwa ia hidup di bawah kesadaran ganda: Kasih Sayang Ilahi yang luas dan Keadilan Ilahi yang pasti datang. Kesadaran ini seharusnya mendorong seseorang untuk berbuat baik, menjauhi maksiat, dan selalu mengoreksi diri, karena pengadilan terakhir adalah mutlak dan tiada tandingannya.
Oleh karena itu, mengamalkan makna 'Mālikiyawmiddīn' bukan hanya sekadar mengucapkan kata, tetapi menginternalisasi prinsip bahwa setiap tindakan akan mendapat pertanggungjawaban di hadapan Raja Yang Maha Adil. Hal ini menuntut keikhlasan (karena hanya Allah yang tahu niat) dan konsistensi (karena hasil akhirnya dijamin oleh Pemilik Hari Pembalasan).