لَمْ يَلِدْ ۙ وَلَمْ يُولَدْ ۛ
(Ayat 2): (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Surah Al-Ikhlas, yang sering disebut sebagai "sepertiga Al-Qur'an," adalah ringkasan padat mengenai hakikat tauhid—keesaan Allah SWT. Setelah menegaskan bahwa Allah itu Esa dan tempat bergantung segala sesuatu (Ayat 1: Qul Huwa Allahu Ahad), ayat kedua langsung menangkis segala bentuk penyekutuan atau penyimpangan pemahaman tentang eksistensi-Nya.
Ayat kedua ini mencakup dua poin fundamental yang saling terkait: "Lam yalid" (Dia tidak beranak) dan "wa lam yūlad" (dan tidak pula diperanakkan).
Tidak Beranak (Lam yalid): Pernyataan ini secara tegas menolak keyakinan yang menganggap bahwa Allah memiliki keturunan, baik itu anak laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks historis turunnya ayat ini, penolakan ini ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekkah yang menganggap bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah, serta tuduhan kaum Yahudi dan Nasrani mengenai status Isa Al-Masih dan Uzair. Islam mengajarkan bahwa konsepsi 'anak' menyiratkan adanya proses fisik, kebutuhan, keterbatasan, dan adanya sesuatu yang lain yang setara atau lebih rendah dari-Nya. Allah Maha Suci dari segala atribut makhluk.
Tidak Diperanakkan (Wa lam yūlad): Bagian kedua ini menegaskan bahwa Allah tidak dilahirkan oleh siapapun. Ini berarti Allah tidak memiliki orang tua, tidak berasal dari entitas lain, dan tidak memiliki awal keberadaan. Konsekuensi logis dari keberadaan-Nya adalah bahwa Dia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) yang keberadaannya tidak didahului oleh apapun. Jika Dia diperanakkan, maka Dia akan memiliki keterbatasan dan memerlukan eksistensi yang mendahuluinya, yang bertentangan dengan konsep Ash-Shamad (Tempat bergantung).
Ayat kedua Al-Ikhlas memiliki implikasi besar dalam teologi Islam. Ia memurnikan konsep ketuhanan dari segala bentuk antropomorfisme (mengaitkan sifat manusiawi kepada Allah) dan segala bentuk ketergantungan.
Keindahan ayat ini terletak pada sifatnya yang negatif-definitif. Ia tidak hanya mengatakan 'Apa itu Allah' tetapi lebih kuat lagi, 'Apa yang BUKAN Allah'. Dengan meniadakan segala hal yang melekat pada makhluk, maka yang tersisa hanyalah kesempurnaan mutlak yang hanya layak disandang oleh Allah SWT.
Pemahaman tentang "Lam yalid wa lam yūlad" sangat selaras dengan ayat-ayat Al-Qur'an lainnya yang menjelaskan keunikan Allah. Misalnya, dalam surat Maryam ayat 35, Allah berfirman: "Tidak layak bagi Allah mengambil seorang anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanyalah berfirman kepadanya: 'Jadilah!', maka jadilah ia."
Ayat ini memastikan bahwa tidak ada mediator atau perantara genetik antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Setiap klaim bahwa entitas tertentu adalah 'anak' Allah adalah penolakan terhadap keesaan dan kemutlakan sifat Allah yang telah ditekankan pada ayat pertama.
Oleh karena itu, ayat kedua Al-Ikhlas bukan sekadar penolakan sederhana, melainkan landasan apologetik yang sangat kuat yang memisahkan konsep Tauhid murni dari segala bentuk takhayul atau klaim palsu tentang hubungan keturunan ilahi. Memahami dan mengimani ayat ini secara mendalam berarti telah meraih inti dari keimanan kepada Allah yang Maha Esa dan Maha Sempurna.