Surah Al-Qadr, atau Surah ke-97 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah terpendek namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Surah ini secara khusus menceritakan tentang malam yang lebih mulia daripada seribu bulan, yaitu **Lailatul Qadr**.
Untuk memahami kemuliaan malam ini, kita perlu menelaah ayat per ayat, dimulai dari ayat kedua yang menjadi fokus pembahasan kita.
Ayat kedua ini diawali dengan sebuah pertanyaan retoris yang kuat: "Wa maa adraaka maa lailatul qadr?". Kata "Wa maa adraaka" adalah frasa yang sering digunakan dalam Al-Qur'an ketika Allah SWT ingin menekankan pentingnya suatu hal yang tidak dapat diukur atau dipahami sepenuhnya oleh akal manusia biasa.
Penggunaan frasa "Tahukah kamu?" dalam ayat ini menunjukkan betapa besarnya dan misteriusnya Lailatul Qadr. Jika Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia paling mulia dan penerima wahyu, ditanyai apakah beliau tahu hakikatnya, ini mengisyaratkan bahwa esensi penuh malam tersebut berada di luar jangkauan pemahaman makhluk. Ini adalah cara Allah SWT untuk menarik perhatian penuh pembaca dan pendengar.
Mengapa malam ini begitu istimewa sehingga perlu dipertanyakan pemahaman kita tentangnya? Ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara pengenalan awal (ayat pertama yang menyatakan malam tersebut lebih baik dari seribu bulan) dan penjelasan lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada malam itu (turunnya Al-Qur'an).
Beberapa ulama menafsirkan bahwa ketidaktahuan parsial ini justru meningkatkan penghormatan kita terhadap malam tersebut. Jika waktu pastinya diketahui secara pasti, umat Muslim mungkin hanya akan beribadah secara terfokus pada malam itu saja, dan mengabaikan potensi kemuliaan di malam-malam lain di sekitar waktu tersebut.
Namun, dengan menyembunyikan tanggal pastinya, Allah SWT mendorong umat-Nya untuk meningkatkan amal ibadah mereka sepanjang sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Ini memotivasi kita untuk berada dalam keadaan taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya secara konsisten. Lailatul Qadr menjadi hadiah yang mengharuskan usaha dan ketekunan, bukan sekadar keberuntungan yang datang pada tanggal yang sudah tertera di kalender.
Ayat kedua ini membangun antisipasi dan rasa hormat yang mendalam. Ia menempatkan Lailatul Qadr pada status yang hampir tidak terlukiskan, memaksa kita untuk merenungkan potensi spiritual yang terkandung di dalamnya. Ia bukan hanya malam biasa; ia adalah peristiwa kosmik yang memerlukan pengakuan akan keagungan Ilahi.
Latar belakang Surah Al-Qadr adalah peristiwa penurunan Al-Qur'an dari Lauhul Mahfuz ke langit dunia. Ayat ketiga kemudian menjelaskan bahwa pada malam tersebut, para malaikat dan Ruh (Malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhannya. Ayat kedua berfungsi sempurna untuk mempersiapkan pendengar memahami betapa dahsyatnya peristiwa ini.
Bayangkan sebuah penurunan wahyu ilahi yang begitu penting sehingga malam pelaksanaannya dianggap lebih bernilai daripada rentang waktu hidup ribuan tahun. Pertanyaan "Tahukah kamu?" adalah undangan untuk merasakan kedahsyatan peristiwa tersebut, meskipun kita tidak dapat sepenuhnya memahaminya.
Dengan demikian, ayat kedua Surah Al-Qadr adalah inti dari paradoks kemuliaan: ia sangat mulia hingga tidak bisa dijelaskan sepenuhnya, namun justru karena misteri inilah, ia menuntut ibadah yang lebih tulus dan lebih giat dari setiap Muslim.