Ilustrasi menggambarkan suasana malam yang pekat.
Dalam khazanah Al-Qur'an, terdapat ungkapan-ungkapan sumpah yang memiliki kekuatan retoris dan makna mendalam yang sering kali menarik perhatian para penafsir. Salah satu di antaranya adalah firman Allah SWT yang berbunyi: "Wa laili idza yaghsya".
Kalimat yang diambil dari Surah Al-Lail (malam) ayat pertama ini bukan sekadar deskripsi biasa tentang pergantian siang ke malam. Sumpah ini mengandung penekanan yang kuat terhadap kekuasaan Tuhan dalam menciptakan siklus alam semesta yang teratur dan penuh misteri. Kata "wa" (demi) menunjukkan pentingnya objek yang disumpah, sementara "laili" (malam) dan "idza yaghsya" (ketika ia menyelimuti/menutupinya) menggambarkan fase malam yang paling pekat dan menenangkan.
Mengapa Allah SWT bersumpah dengan malam yang menyelimuti? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa malam memiliki beberapa dimensi simbolis yang signifikan. Pertama, malam melambangkan masa ketika manusia berada dalam kondisi paling lemah, membutuhkan istirahat, dan jauh dari hiruk pikuk kesibukan duniawi.
Kegelapan (yaghsya) berfungsi sebagai penutup. Dalam konteks spiritual, kegelapan malam sering kali dikaitkan dengan saat-saat kontemplasi dan perenungan terdalam. Ketika pandangan mata terbatas oleh kegelapan, hati dan akal cenderung lebih fokus pada hal-hal yang abstrak, yaitu mengingat Tuhan dan mengevaluasi amal perbuatan harian.
Sumpah ini juga menegaskan bahwa di tengah kegelapan yang tampak menakutkan atau menenangkan, terdapat keteraturan ilahi. Malam datang dan pergi sesuai ketetapan-Nya. Tidak ada kegelapan yang abadi; selalu ada janji subuh yang akan datang. Ini memberikan pesan harapan bahwa kesulitan atau kegelapan dalam hidup seorang mukmin akan selalu diikuti oleh kejelasan dan kemudahan, sebagaimana malam pasti digantikan siang.
Seringkali, sumpah "Wa laili idza yaghsya" akan diikuti oleh sumpah tentang siang hari ("Wa nahari idza tajalla," demi siang apabila mulai terang). Kontras ini adalah inti dari ayat-ayat tersebut. Kehidupan dunia ini didasarkan pada dualitas: terang dan gelap, aktif dan pasif, kerja dan istirahat. Kedua kondisi ini sama-sama penting dan keduanya adalah ciptaan Allah yang patut disyukuri.
Malam adalah waktu refleksi atas apa yang telah dilakukan di siang hari. Ia adalah jeda yang diperlukan agar manusia dapat memulihkan energi, baik fisik maupun spiritual, untuk menghadapi hari berikutnya dengan semangat baru. Mengabaikan hak malam untuk beristirahat berarti melanggar salah satu sunnatullah (hukum alam yang ditetapkan Allah).
Dalam tafsir tasawuf, kegelapan malam juga diibaratkan sebagai kondisi jiwa sebelum mendapatkan pencerahan hakikat. Manusia harus melewati kegelapan hawa nafsu dan kebodohan duniawi sebelum mencapai cahaya ma’rifatullah (mengenal Allah).
Memahami sumpah "Wa laili idza yaghsya" seharusnya mendorong umat Islam untuk menghargai waktu malam. Waktu ini bukan hanya untuk tidur semata, tetapi juga waktu yang utama untuk ibadah sunnah seperti shalat tahajud, berzikir, atau membaca Al-Qur'an dalam suasana yang lebih khusyuk tanpa gangguan visual.
Kegelapan malam juga mengajarkan kerendahan hati. Ketika semua kemewahan duniawi—gedung tinggi, lampu neon—tenggelam dalam kegelapan, manusia menyadari betapa kecilnya ia di hadapan keagungan Pencipta yang mengendalikan alam semesta ini. Ketergantungan total kepada Allah menjadi lebih terasa ketika kita dikelilingi oleh kegelapan yang hanya dapat dipecahkan oleh cahaya-Nya.
Oleh karena itu, setiap kali kita menyaksikan malam menyelimuti bumi, kita diingatkan akan janji ilahi tentang keteraturan, waktu istirahat yang esensial, dan kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dalam kesendirian dan kekhusyukan yang hanya bisa didapat di bawah naungan gelapnya malam.