Ilustrasi visualisasi hidangan Blanceng Susu.
Blanceng susu, sebuah nama yang mungkin asing di telinga generasi muda pencinta kuliner modern. Namun, bagi masyarakat Jawa, khususnya di daerah pedesaan, blanceng susu adalah warisan rasa yang kaya akan nostalgia. Hidangan ini seringkali dikategorikan sebagai salah satu jajanan pasar atau kudapan manis tradisional yang memanfaatkan bahan dasar sederhana namun menghasilkan cita rasa yang luar biasa. Pada dasarnya, blanceng susu adalah olahan manis berbahan dasar santan atau susu (meskipun istilah 'susu' di sini sering kali merujuk pada kekentalan dan warna putihnya, bukan selalu susu sapi murni) yang dikentalkan bersama gula.
Keunikan utama dari blanceng susu terletak pada teksturnya. Ia tidak sepadat dodol, namun juga tidak cair seperti bubur biasa. Teksturnya berada di antara keduanya—kental, lembut, dan lumer di mulut. Kata 'blanceng' sendiri mungkin berasal dari cara pembuatannya yang memerlukan proses pengadukan terus-menerus hingga mencapai tingkat kekentalan yang diinginkan, menciptakan lapisan putih bersih layaknya susu kental. Proses ini membutuhkan kesabaran tinggi dari sang pembuat, sebab jika pengadukan kurang sempurna, hasilnya bisa menjadi bantat atau pecah.
Membuat blanceng susu adalah pelajaran tentang kesabaran dan ketelatenan. Bahan utamanya umumnya adalah santan kental (dari kelapa tua yang diperas menghasilkan santan perasan pertama), gula merah atau gula aren (untuk memberikan aroma karamel yang khas), dan sedikit tepung beras atau tapioka sebagai pengental.
Langkah pertama adalah memasak santan dan gula hingga gula larut sempurna. Kemudian, larutan tepung pengental dicampurkan perlahan sambil terus diaduk di atas api kecil. Kunci keberhasilan ada pada tahap pengadukan. Adonan harus diaduk secara konstan dan merata, biasanya menggunakan sendok kayu panjang, agar santan tidak pecah (terpisah antara minyak kelapa dan airnya) dan adonan tidak gosong di dasar wajan. Proses ini bisa memakan waktu hingga satu jam, tergantung volume masakan.
Ketika adonan mulai mengental dan mengeluarkan gelembung-gelembung kecil yang pecah perlahan, itu adalah tanda bahwa blanceng susu hampir matang. Setelah mencapai kekentalan yang pas—di mana jika diangkat, adonan jatuh perlahan dan meninggalkan jejak di dasar wajan—maka proses memasak dihentikan. Adonan kemudian dicetak atau dibiarkan dingin di dalam wadah besar hingga mengeras permukaannya.
Meskipun resep dasar blanceng susu cenderung homogen, variasi dalam penyajian seringkali membuatnya semakin menarik. Di beberapa daerah, blanceng susu disajikan polos, menonjolkan rasa manis legit dari gula merah yang berpadu harmonis dengan gurihnya santan. Aroma pandan sering ditambahkan untuk memberikan kesegaran alami pada kudapan ini.
Namun, ada pula varian yang mencampurkan sedikit parutan jahe untuk sensasi hangat, atau bahkan dicampurkan dengan potongan nangka matang untuk memberikan tekstur tambahan. Penyajian paling klasik adalah ketika blanceng susu dipotong kotak-kotak kecil dan disajikan dalam piring beralas daun pisang. Kelembutan dan rasa manisnya yang tidak berlebihan membuatnya cocok dinikmati sebagai penutup santapan berat atau sebagai teman minum teh di sore hari.
Blanceng susu bukan sekadar makanan; ia adalah penanda kebersamaan. Dulunya, hidangan ini sering dibuat dalam jumlah besar saat acara-acara adat, syukuran, atau saat berkumpul keluarga besar. Proses membuatnya yang lama secara implisit mengajarkan nilai kesabaran dan gotong royong.
Sayangnya, seperti banyak jajanan tradisional lainnya, popularitas blanceng susu kini mulai tergerus oleh derasnya arus kuliner modern. Bahan-bahan segar seperti santan asli semakin jarang digunakan dalam skala produksi besar, digantikan oleh produk instan. Oleh karena itu, pelestarian resep dan teknik pembuatan blanceng susu menjadi penting. Upaya untuk memperkenalkan kembali kelezatan sederhana namun otentik ini kepada generasi muda adalah kunci agar rasa warisan Nusantara ini tidak hilang ditelan zaman. Blanceng susu adalah bukti bahwa kesederhanaan bahan bisa menciptakan keajaiban rasa yang tak terlupakan.